KOMPAS.com - Unjuk rasa penolakan revisi UU Pilkada di Jakarta dan sejumlah daerah, pada Kamis (22/8/2024), turut diwarnai kekerasan oleh aparat keamanan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, aparat telah berlaku brutal terhadap pengunjuk rasa.
Menurut Usman, tindakan brutal aparat telah mencederai hak asasi manusia, yaitu hak untuk berkumpul damai, serta hak untuk hidup, tidak disiksa, dan diperlakukan tidak manusiawi.
"Mereka bukan kriminal, tapi warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan jika melanggar hukum pun, tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal," kata Usman, dikutip dari situs , Kamis (22/8/2024).
Amnesty International Indonesia memantau langsung aksi protes di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makassar.
Di Jakarta, banyak orang yang ditangkap. Hingga Kamis sore, setidaknya sudah belasan orang yang ditangkap dan terus bertambah.
Mereka yang ditangkap termasuk staf Lembaga Bantuan Hukum Jakarta serta Direktur Lokataru. Mereka pun menjadi korban luka.
Sembilan orang lainnya juga menjadi korban kekerasan polisi, termasuk mahasiswa dari Universitas Paramadina dan UHAMKA.
Tujuh jurnalis dari berbagai media, termasuk Tempo, IDN Times, dan MaknaTalks juga mengalami tindakan represif polisi.
Di Bandung, polisi tertangkap video mengejar dan memukul pengunjuk rasa dengan tongkat dan menginjaknya.
Di Semarang, setidaknya 15 mahasiswa dari berbagai kampus, seperti Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Semarang, dan Universitas Islam Negeri Walisongo, dirawat di Rumah Sakit Roemani akibat tembakan gas air mata.
Usman mengatakan, perilaku aparat yang brutal merupakan bukti kegagalan mereka memahami bahwa siapa pun berhak untuk memprotes melalui unjuk rasa dilindungi oleh hukum nasional maupun internasional.
"Penggunaan kekuatan yang eksesif seperti kekerasan, peluru karet, gas air mata, kanon air maupun tongkat pemukul, tidak diperlukan sepanjang tidak ada ancaman nyata. Itu harus dipertanggungjawabkan," ujar Usman.
Tindakan represif aparat selama unjuk rasa penolakan revisi UU Pilkada juga disorot Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Wakil Koordinator KontraS Andi Muhammad Rezaldy mendesak aparat keamanan untuk tidak bertindak represif dan menghormati hak kebebasan berekspresi serta berpendapat.
Menurut Andi, hak tersebut telah diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
"Oleh karena itu, aturan ini seharusnya menjadi landasan bagi aparat untuk menghormati setiap ekspresi dan pendapat para demonstran," kata Andi, dikutip dari situs s, Kamis (22/8/2024).
Andi mengatakan, aparat keamanan harus bertindak secara profesional dan menjunjung tinggi HAM, sesuai prinsip-prinsip serta standar HAM dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009.
"Penekanan ini sangat penting mengingat masih sering terjadi insiden di mana Polri menggunakan tindakan represif dalam menjalankan tugasnya, yang mengakibatkan korban luka-luka, bahkan hingga korban jiwa," ujar dia.
Andi mengatakan, polisi memiliki rekam jejak represif dalam berbagai aksi unjuk rasa, seperti demonstrasi penolakan hasil Pemilu 2019 pada 21-23 Mei 2019, aksi Reformasi Dikorupsi pada September 2019, dan penolakan Omnibus Law pada Oktober 2020.
"Tiga peristiwa itu menunjukkan bahwa kepolisian sering kali menggunakan tindakan represif serta menggunakan kekuatan secara berlebihan dalam pelaksanaan tugasnya," kata Andi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.