MEMASUKI musim dingin di Inggris tahun ini, entah sudah berapa kali kudapati surat/brosur di kotak surat di rumahku. Itu berasal dari berbagai komunitas sosial ataupun gereja. Demikian juga dengan anakku, sepulang sekolah, kudapati secarik kertas di tasnya.
Kuperhatikan dengan seksama, ternyata isi surat tersebut tak jauh berbeda dengan yang kuterima di rumah: ajakan untuk melakukan donasi dalam bentuk makanan kepada para homeless (tunawisma).
Baca juga: Perawat Inggris Akan Mogok Kerja Lagi, Rishi Sunak Angkat Bicara
Tidak hanya itu. Pada musim dingin kali ini, berbagai media di Inggris menginformasikan rencana aksi mogok kerja para perkerja di berbagai sektor. Aksi mogok ini ditengarai karena kenaikan inflasi di Inggris tidak dibarengi dengan kenaikan upah pekerja.
Mungkin tidak semua orang akan percaya bahwa negara semakmur Inggris dengan kekuatan dan pendagaruhnya pada sektor ekonomi dan politik di kancah global, ternyata tidak bisa melepaskan diri mereka dari persoalan ancaman ketidakpastian menghadapi krisis ekonomi.
Melalui pengumuman resminya, Bank of England mengabarkan bahwa saat ini Inggris akan menghadapi resesi terpanjang dalam 100 tahun terakhir. Selain itu, kenaikan inflasi mencapai 11 persen hingga akhir tahun. Diperkirakan kondisi baru akan kembali normal lagi tahun 2024.
Tentu saja, inflasi tersebut berdampak pada kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Terutama harga makanan dan minuman non-alkohol mencapai 16 persen tahun lalu. Hal tersebut dikarenakan naiknya konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan pokok pasca pandemi Covid-19.
Baca juga:
Selain itu, salah satu krisis yang dikhawatirkan oleh masyarakat Inggris ialah adanya kenaikan harga gas dan listrik. Melalui laman resmi UK Parliament, pemerintah Britania Raya mengumumkan bahwa pada tahun 2022 terjadi kenaikan energi sebesar 54 persen pada bulan April dan naik secara signifikan sebesar 80 persen pada bulan oktober 2022.
Harga diperkirakan akan naik pada tahun 2023. Bisa dikatakan bahwa sebenarnya, Inggris bukan salah satu negara yang terdampak dari krisis energi tetapi menjadi salah satu negara yang paling terdampak dari krisis tersebut.
Anna Valero, salah satu ekonom dari LSE (London School of Economics and Political Science), menjelaskan bahwa Inggris menjadi negara yang paling terdampak dari adanya krisis energi dikarenakan 85 persen rumah tangga menggunakan pemanas gas untuk menghangatkan rumah mereka.
Tingginya inflasi di Inggris tidak berpengaruh pada peningkatan upah para pekerja di beberapa sektor, terutama mereka yang bekerja di sektor publik. Hal tersebut kemudian direspon melalui gelombang aksi mogok secara masif di Inggris, yang dikenal sebagai Winter of Discontent.
Berbeda dengan aksi mogok sebelumnya, yang paling sering dilakukan oleh pekerja kereta api, saat ini hampir seluruh pekerja di sektor publik bersolidaritas untuk melakukan aksi mogok pada musim dingin ini, di antaranya seperti Ambulance, Border Force, Bus, Driving Examiners, Baggage Handles, National Highways, Nurse, Royal Mail, Rail, dan Teachers.
Beberapa media di Inggris bahkan merilis “Winter Strike Calender” untuk pemberitaan sekaligus antisipasi kepada publik tentang kemungkinkan adanya disrupsi selama musim dingin ini, terutama menjelang Natal dan Tahun Baru 2023.
Gelombang aksi mogok ini dilakukan dengan tujuan menekan pemerintah menaikkan upah pekerja yang lebih layak untuk menghadapi lonjakan harga pangan serta energi. Bisa dikatakan, gelombag aksi mogok itu merupakan yang terbesar dalam 10 tahun terakhir.
Data dari ONS (Office for National Statistic) tahun 2022 menyebutkan bahwa lebih dari 1,1 juta jam hari kerja aktif telah hilang akibat aksi mogok kerja yang dilakukan pekerja.
Menghadapi situasi itu tentu hal yang tidak mudah bagi pemerintah Inggris, terutama bagi Rishi Sunak yang merupakan perdana menteri ketiga selama tujuh minggu setelah pengunduran diri Boris Johnson dan Liz Truss.