JAKARTA, KOMPAS.com — Film dokumenter Eksil karya Lola Amaria bukan sekadar proyek film biasa. Film itu menyimpan kisah tentang sejarah yang dibungkam, trauma yang belum sembuh, dan suara-suara yang hampir hilang dari ingatan bangsa.
Sedikitnya, dibutuhkan waktu sepuluh tahun untuk menuntaskan film tersebut, mulai dari riset, produksi, hingga akhirnya tayang dan bisa disaksikan publik.
Dalam proses tersebut, Lola membawa beban bukan hanya sebagai pembuat film, melainkan sebagai penjaga cerita dari mereka yang hampir tak pernah mendapat ruang dalam sejarah Indonesia.
“Jalannya sih secara keseluruhan mulus, tapi memang sulit selama sepuluh tahun itu,” ujar Lola saat ditemui 优游国际.com usai pemutaran film Eksil di Plaza Senayan, Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Kesulitan itu tidak sekadar soal teknis produksi. Ia harus bolak-balik ke Eropa untuk bertemu para narasumber yang kini tinggal di luar negeri, banyak di antaranya merupakan eksil politik pasca-1965.
Baca juga: Penayangan Film EKSIL Mendapat Sambutan Hangat di Sydney Australia
Namun tantangan sesungguhnya muncul dari ketakutan dan trauma panjang yang masih melekat pada para eksil tersebut.
Mendekati mereka bukan perkara mudah. Beberapa sempat ragu karena pernah dimata-matai, dan menyimpan ketidakpercayaan terhadap proses dokumentasi.
“Semuanya sulit, termasuk masalah pendanaan karena harus bolak-balik Eropa. Mendekati narasumber juga enggak mudah karena mereka juga sangat trauma pada hal-hal tertentu. Sempat mengalami ketakutan (trust issue karena dimata-matai),” kata Lola.
Untuk diketahui, film Eksil menceritakan tentang nasib mahasiswa yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia atau terbuang sejak peristiwa 30 September 1965.
Film tersebut menggali kisah para mahasiswa pada 1965 yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri berkat adanya beasiswa dari pemerintahan Presiden Soekarno.
Baca juga:
Namun, para pelajar dan mahasiswa yang sedang tinggal di luar negeri itu mendapat nasib buruk usai lengsernya Presiden Soekarno. Mereka terjebak di luar negeri dan tidak bisa pulang ke Indonesia.
Para pelajar dan mahasiswa itu pun tersebar di banyak negara. Ada yang ke China, Uni Soviet, Belanda, Cheko-Slovakia, Jerman, dan Swedia. Para pelajar dan mahasiswa Indonesia ini menjadi eksil.
Lola mengungkapkan, waktu menjadi tantangan lain yang tak bisa dilawan dalam produksi film. Beberapa narasumber meninggal dunia tak lama setelah proses syuting selesai.
Hal itu menjadi kehilangan tersendiri, sekaligus menegaskan pentingnya merekam ingatan mereka selagi masih bisa. Bagi Lola, film ini adalah upaya menyimpan suara-suara itu sebelum benar-benar hilang.
Untuk menjaga agar film tak hanya berisi potongan wawancara, Lola menyertakan berbagai elemen visual penunjang.
Baca juga: Sinopsis Film Dokumenter Eksil, Kisah Mahasiswa Indonesia yang Tak Bisa Kembali ke Tanah Air