优游国际

Baca berita tanpa iklan.

Badai Tarif Trump, Saatnya Indonesia Berbenah Kebijakan Sosial

优游国际.com - 14/04/2025, 22:19 WIB
Hilda B Alexander

Editor

KOMPAS.com - Kebijakan proteksionisme global yang kembali menguat pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia.

Kebijakan tarif resiprokal "Trump 2.0" dinilai bukan sekadar strategi dagang biasa, melainkan sebuah sinyal jelas tentang melemahnya multilateralisme dan menguatnya sentimen nasionalisme ekonomi.

Indonesia merasakan dampak langsung dari kebijakan ini. Pemberlakuan tarif tambahan sebesar 32 persen terhadap produk ekspor utama Indonesia, terutama dari sektor padat karya seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki, mengancam kelangsungan hidup jutaan pekerja di dalam negeri.

Baca juga: Respons Tarif Trump, Kementerian ATR/BPN Bereskan RDTR

Data dari Kementerian Koordinator Perekonomian menunjukkan bahwa sektor-sektor ini menyerap lebih dari 12 juta tenaga kerja, yang sebagian besar berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang peran negara dalam melindungi rakyatnya ketika kebijakan luar negeri sebuah negara adidaya mengguncang stabilitas ekonomi.

Menurut Kandidat Doktor Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada (UGM) Amalia, perspektif teori kesejahteraan dan pembangunan sosial menjadi krusial dalam menganalisis situasi ini.

Dia pun menyitir pemikiran Jeremy Bentham tentang tugas pemerintah dalam menjamin "kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar" (the greatest happiness of the greatest number) yang menggarisbawahi perlunya kehadiran aktif negara dalam mewujudkan keadilan sosial.

Baca juga: Kata AHY, Asia Pasifik Jadi Panggung Utama Dinamika Tarif Trump

Sementara itu, Amartya Sen melalui pendekatan kapabilitasnya menekankan pentingnya kebebasan individu untuk mencapai kesejahteraan yang bermakna, di mana masyarakat tidak hanya "selamat" namun juga "berdaya."

"Sayangnya, respons pemerintah saat ini masih terlalu berfokus pada stabilitas makro dan diplomasi dagang," ujar Amalia dalam keterangan tertulis, Senin (14/4/2025).

Amalia menegaskan, langkah-langkah seperti revitalisasi perjanjian Trade and Investment Frame Agreements (TIFA) dengan AS, penyesuaian non-tariff measures, dan promosi investasi ke sektor hilirisasi memang penting.

"Namun terasa kurang menyentuh langsung kehidupan masyarakat miskin di pedesaan, perkampungan padat perkotaan, dan para buruh industri yang kini terancam kehilangan pekerjaan akibat kebijakan tarif global," cetusnya.

Keresahan ini semakin menguat mengingat belum adanya arah kebijakan pembangunan sosial yang jelas dari pemerintahan baru hingga awal kuartal kedua 2025.

Narasi pembangunan nasional masih didominasi oleh pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur, tanpa adanya peta jalan sosial yang komprehensif untuk mengatasi ketimpangan yang semakin melebar.

Baca juga: Ini Dampak Kebijakan Tarif Trump terhadap Properti Indonesia

Teori pembangunan sosial yang dipelopori oleh James Midgley menawarkan solusi yang lebih terintegrasi, yaitu menggabungkan kebijakan sosial dan ekonomi.

Program bantuan sosial (bansos) seharusnya tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung erat dengan upaya pemberdayaan masyarakat, pelatihan vokasional, dan pelibatan aktif warga dalam proses pembangunan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan.

Terpopuler

1
2
3
4
5
Baca berita tanpa iklan.
Komentar
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi 优游国际.com
Network

Copyright 2008 - 2025 优游国际. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses 优游国际.com
atau