KOMPAS.com - Kebijakan proteksionisme global yang kembali menguat pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kebijakan tarif resiprokal "Trump 2.0" dinilai bukan sekadar strategi dagang biasa, melainkan sebuah sinyal jelas tentang melemahnya multilateralisme dan menguatnya sentimen nasionalisme ekonomi.
Indonesia merasakan dampak langsung dari kebijakan ini. Pemberlakuan tarif tambahan sebesar 32 persen terhadap produk ekspor utama Indonesia, terutama dari sektor padat karya seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki, mengancam kelangsungan hidup jutaan pekerja di dalam negeri.
Baca juga: Respons Tarif Trump, Kementerian ATR/BPN Bereskan RDTR
Data dari Kementerian Koordinator Perekonomian menunjukkan bahwa sektor-sektor ini menyerap lebih dari 12 juta tenaga kerja, yang sebagian besar berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang peran negara dalam melindungi rakyatnya ketika kebijakan luar negeri sebuah negara adidaya mengguncang stabilitas ekonomi.
Menurut Kandidat Doktor Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada (UGM) Amalia, perspektif teori kesejahteraan dan pembangunan sosial menjadi krusial dalam menganalisis situasi ini.
Dia pun menyitir pemikiran Jeremy Bentham tentang tugas pemerintah dalam menjamin "kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar" (the greatest happiness of the greatest number) yang menggarisbawahi perlunya kehadiran aktif negara dalam mewujudkan keadilan sosial.
Baca juga: Kata AHY, Asia Pasifik Jadi Panggung Utama Dinamika Tarif Trump
Sementara itu, Amartya Sen melalui pendekatan kapabilitasnya menekankan pentingnya kebebasan individu untuk mencapai kesejahteraan yang bermakna, di mana masyarakat tidak hanya "selamat" namun juga "berdaya."
"Sayangnya, respons pemerintah saat ini masih terlalu berfokus pada stabilitas makro dan diplomasi dagang," ujar Amalia dalam keterangan tertulis, Senin (14/4/2025).
Amalia menegaskan, langkah-langkah seperti revitalisasi perjanjian Trade and Investment Frame Agreements (TIFA) dengan AS, penyesuaian non-tariff measures, dan promosi investasi ke sektor hilirisasi memang penting.
"Namun terasa kurang menyentuh langsung kehidupan masyarakat miskin di pedesaan, perkampungan padat perkotaan, dan para buruh industri yang kini terancam kehilangan pekerjaan akibat kebijakan tarif global," cetusnya.
Keresahan ini semakin menguat mengingat belum adanya arah kebijakan pembangunan sosial yang jelas dari pemerintahan baru hingga awal kuartal kedua 2025.
Narasi pembangunan nasional masih didominasi oleh pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur, tanpa adanya peta jalan sosial yang komprehensif untuk mengatasi ketimpangan yang semakin melebar.
Baca juga: Ini Dampak Kebijakan Tarif Trump terhadap Properti Indonesia
Teori pembangunan sosial yang dipelopori oleh James Midgley menawarkan solusi yang lebih terintegrasi, yaitu menggabungkan kebijakan sosial dan ekonomi.
Program bantuan sosial (bansos) seharusnya tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung erat dengan upaya pemberdayaan masyarakat, pelatihan vokasional, dan pelibatan aktif warga dalam proses pembangunan.