KOMPAS.com - Perbudakan di benua Afrika melewati sejarah panjang dan kompleks, yang melibatkan berbagai faktor, termasuk agama.
Islam, yang menyebar di seluruh Afrika sejak abad ke-7, turut berperan dalam perdagangan budak di benua ini.
Bagaimana pengaruh Islam terhadap perdagangan budak di Afrika?
Baca juga: Mengapa Afrika Disebut Benua Hitam?
Menurut Al Quran, orang merdeka tidak boleh diperbudak.
Pada masa awal penyebaran Islam, para pemimpin Muslim menerapkan kebijakan bahwa orang beragama lain yang tinggal di bawah pemerintahan Islam atau disebut dhimmi, diwajibkan membayar pajak Kharaj dan Jizya.
Namun, seiring luasnya kekuasaan Islam, terkadang mengakibatkan penafsiran hukum yang lebih keras.
Misalnya, jika seorang dhimmi tidak mampu membayar pajak, mereka bisa menjadi budak.
Meskipun hukum mengharuskan pemilik budak memperlakukan mereka dengan baik dan memberikan perawatan medis, budak tidak memiliki hak untuk diadili di pengadilan atau memiliki properti.
Mereka hanya dapat menikah dengan izin pemiliknya dan dianggap sebagai "properti".
Baca juga: Sejarah Mulainya Perbudakan di Amerika Serikat
Memeluk agama Islam tidak secara otomatis membebaskan budak atau anak-anak mereka.
Budak berpendidikan tinggi atau yang bertugas di militer terkadang memperoleh kebebasan, sementara pekerja kasar jarang mendapatkannya.
Sebagian besar budak didapat melalui pembelian, dan di perbatasan kekhalifahan Islam, banyak budak dikebiri sebelum dijual.
Mayoritas budak berasal dari Eropa dan Afrika. Bahkan penduduk setempat sering menculik atau menangkap rekan mereka sendiri.
Perdagangan budak seperti ini berlangsung lebih dari 600 tahun, sebelum kedatangan bangsa Eropa dan mendorong ekspansi Islam di Afrika Utara.
Pada masa Kesultanan Utsmaniyah (1299-1924), sebagian besar budak diperoleh melalui penyerbuan di Afrika.