KOMPAS.com - Pada 2017, Indonesia mengambil langkah penting dengan mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara.
Laut Natuna Utara mencakup sejumlah bagian Laut China Selatan yang masih berada di dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut Indonesia.
Perubahan nama tersebut sekaligus memperbarui peta Indonesia yang sebelumnya menampilkan Laut China Selatan membentang hingga mendekati Laut Jawa.
Langkah berani Indonesia ini pun menuai protes dari China yang menganggapnya sebagai langkah tak masuk akal.
Bagi China, perubahan Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara tidak sesuai dengan upaya standarisasi penyebutan wilayah internasional.
Meski tak mengubah situasi, perubahan ini menegaskan kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara.
Baca juga: Filipina Ganti Komandan Militer di Laut China Selatan
Apa yang terjadi di Laut China Selatan, tak lepas dari nilai strategis bagi negara-negara yang beririsan dengan kawasan ini.
Untuk diketahui, Laut China Selatan berbatasan dengan tujuh negara, yakni Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam, China, dan Taiwan.
Menjadi salah satu jalur perdagangan penting dunia, Laut China Selatan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Tak hanya itu, kawasan tersebut juga disebut memiliki potensi yang beragam, termasuk sumber daya alam hayati dan non-hayati.
Berdasarkan data Lembaga Informasi Administrasi Energi Amerika Serikat (AS), Laut China Selatan menyimpan 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam.
Fakta senada juga pernah diungkapkan oleh perusahaan minyak asal Filipina, Philex Petroleum Corp.
Mereka bahkan memperkirakan, kandungan gas alam di kawasan itu mencapai 20 triliun kaki kubik atau lima kali lebih banyak dari perkiraan sebelumnya.
Dengan kondisi tersebut, potensi konflik antarnegara di Laut China Selatan pun terus berkembang setiap waktu.
Baca juga: China Larang Penangkapan Ikan di Laut China Selatan, Vietnam dan Filipina Protes
China menjadi negara yang paling agresif dalam upaya untuk menguasai Laut China Selatan.