KOMPAS.com - Peradaban China kuno mencoba menggambarkan Bumi dan alam semesta. Ada teori yang meyakini Bumi berada di tengah mesin lari atau treadmill.
Pandangan masyarakat Tionghoa soal alam semesta disinggung dalam buku Cosmology: Historical, Literary, Philosophical, Religious, and Scientific Perspectives (1993).
Pandangan China kuno tentang alam semesta yang paling utama adalah meyakini seluruh alam semesta merupakan organisme tunggal.
Orang Tionghoa percaya bahwa Bumi berosilasi (seperti gerak bandul) dalam ruang. Mereka juga percaya bahwa jiwa manusia terdiri dari dua komponen.
Sebagian jiwa akan berbaur dengan uap di langit, sebagian lainnya bercampur dengan Bumi.
Pada abad ke-11 M, gambaran alam semesta dibahas oleh guru terkenal bernama Zhoi Dun-Yi dalam Penjelasan Diagram Agung (Tai Fi Tu Shuo).
Kemudian, filsuf Neo-Konfusianisme Zhu Xi pada 1173 mengulas kembali diagram tersebut dan mendukung pandangan bahwa alam semesta merupakan organisme tunggal.
Benda langit dihubungkan dengan kejadian di Bumi
Orang Tionghoa meyakini kondisi umat manusia di Bumi berkaitan dengan benda-benda langit. Perubahan di langit dapat menunjukkan perubahan di Bumi.
Misalnya, pemerintahan yang korup atau administrasi yang buruk terjadi akibat dislokasi benda-benda langit.
Kepercayaan itulah yang membuat orang China selalu mengamati benda-benda langit.
Masyarakat China kuno juga mempercayai surga berputar seperti penggilingan dari kanan ke kiri.
Sementara terbit dan terbenamnya benda langit hanyalah ilusi, karena tidak pernah lewat di dasar Bumi. Pergerakan bumi seolah berada di antara treadmill.
Teori lain soal alam semesta lainnya muncul dari aliran Hun Tian, yang menganggap langit serupa bola langit.
Perkembangan pengetahuan soal alam semesta
China bertahap membedakan ilmu tentang alam semesta dan ramalan yang dikaitkan dengan benda langit.
Astronomi dan matematika merupakan bagian dari ajaran Konfusius. Namun, astronomi dan astrologi merupakan dua cabang pengetahuan yang berbeda.
Menurut studi Perlintasan Batas: Astronomi Barat di Tiongkok Konfusianisme 1600-1800, astronomi dianggap sebagai bagian dalam seni Konfusianisme.
Astronomi difungsikan sebagai pembuat kalender, memprediksi peristiwa langit yang tidak normal, dan untuk ramalan.
Kedatangan para Jesuit Eropa seperti Matteo Ricci (1552-1610), memperkenalkan masyarakat China pada pemahaman alam semesta menurut negara lainnya.
Para Jesuit tersebut juga membawa benda dan pengetahuan, seperti teleskop, instrumen Tychonic, trigonometri, dan rumus logaritma.
Pada 1610, para astronom China berhasil memprediksi gerhana Matahari pada 1610.
Salah satu astronom istana, yang juga kenal dengan Ricci, mengusulkan terjemahan buku-buku astronomi Barat dan mencatat preseden teks-teks astronomi Muslim telah diterjemahkan pada awal Dinasti Ming.
Pengetahuan masyarakat China pun semakin berkembang, begitu pula pemahaman soal bentuk Bumi serta alam semesta.
Kemajuan astronomi China
Beda dulu beda sekarang. Perkembangan teknologi China membawa negara tersebut mampu meluncurkan misi luar angkasa.
China menjadi salah satu negara yang mampu mengirim astronot ke luar angkasa, bahkan memotret bentuk Bumi.
Dilansir Space.com, salah satu misi luar angkasa China yang mampu memotret bentuk Bumi yakni Shenzhou 12.
Ada tiga astronot yang dikirim ke luar angkasa, yakni Nie Haisheng, Liu Boming dan Tang Hongbo.
Pada 30 Juli 2021, astronot Tang Hongbo memotret Bumi. Tampak ribuan cahaya dari lampu memancar dari benua Afrika Utara.
Kumpulan gambar lainnya dirilis pada 8 September 2021 yang diambil oleh Liu Boming.
Foto selanjutnya menampilkan Danau Urmia di Iran, Prefektur Otonomi Kizilsu Kyrgyz China, Danau Van di Turki dan dataran tinggi Armenia, dan pemandangan Afrika Selatan.
Misi Shenzhou 12 merupakan misi ketiga dari total 11 misi luar angkasa yang pernah dikerjakan China.
Keberhasilan misi luar angkasa dan foto-foto yang dihasilkan mematahkan teori-teori kuno soal bentuk Bumi.
/cekfakta/read/2023/06/24/080800882/pemahaman-peradaban-china-kuno-soal-alam-semesta-dan-bentuk-bumi-