KOMPAS.com- Narasi tentang penyiksaan sejumlah jenderal, perwira, dan korban dalam Gerakan 30 September 1965 begitu lekat di kepala sejumlah orang.
Film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) karya Arifin C Noer, kerap menjadi referensi bagaimana bengisnya pembunuhan terhadap para jenderal.
Penyiksaan tujuh jenderal yang dianaya menjadi cerita yang terus berdengung dari generasi ke generasi.
Namun, dokumen yang selama ini ditutup-tutupi oleh Orde Baru memperlihatkan fakta yang berbeda.
Laporan lima ahli kedokteran forensik yang memeriksa mayat enam jenderal (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan) menunjukkan bahwa tidak ada tanda penyiksaan di tubuh korban.
Dokumen yang tersebut dipublikasikan oleh Ben Anderson, sejarawan dan profesor dari Universitas Cornell, Amerika Serikat.
Baca juga: Mengapa Hoaks dan Isu PKI Masih Laku untuk Propaganda Politik?
Dalam jurnal penelitiannya yang berjudul " Ben Anderson melampirkan dokumen hasil otopsi para jenderal yang terbunuh dalam Gerakan 30 September 1965.
Di dalam dokumen tersebut tidak ada satu pun laporan yang menunjukkan tanda-tanda penyiksaan. Dalam dokumen itu, Ben Anderson membagi dua kelompok korban G30S, yaitu:
"(Mereka yang) dibunuh dengan cara ditembak mati di rumahnya oleh para penculik, seperti Jenderal Yani, Pandjaitan, dan Haryono. Kemudian mereka yang dibunuh setelah dibawa ke Lubang Buaya, seperti Jenderal Parman, Soeprapto, Sutoyo, serta Letnan Tendean," tulis Ben Anderson.
Dokter yang memeriksa mayat para korban telah menyatakan tidak ada mutilasi yang mengerikan pada mata dan alat kelamin seperti yang diberitakan di media massa pro Orde Baru.
Selain luka tembak, luka lainnya digambarkan sebagai akibat dari trauma tumpul.
Baca juga: Di Balik Perbedaan Istilah Gestapu, Gestok, hingga G30S...