KOMPAS.com - Enam belas tahun yang lalu, Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggagas aksi rutin yang digelar setiap Kamis.
Aksi tersebut menjadi wadah bagi korban dan keluarga korban kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu untuk menuntut keadilan.
Gagasan soal Aksi Kamisan itu dicetuskan oleh Maria Katarina Sumarsih dan Suciwati, istri almarhum pejuang HAM Munir.
Sumarsih merupakan ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan atau Wawan, yang tewas ditembak aparat saat Tragedi Semanggi I, 13 November 1998.
Dalam rapat JSKK, Sumarsih mengusulkan payung sebagai simbol yang digunakan saat aksi. Kemudian Suciwati memberikan ide pakaian peserta aksi yang serba hitam, sebagai lambang keteguhan dalam mencintai manusia.
“Kemudian kami menentukan kapan harinya, dan ternyata di hari Kamis kami bisa meluangkan waktu untuk aksi rutin itu,” ujar Sumarsih, dalam diskusi bertajuk Yang Terekam Takkan Terlupakan, Rabu (18/1/2023).
Baca juga: Keteguhan Sumarsih Menuntut Keadilan...
Aksi Kamisan terinspirasi dari Ibu-ibu Plaza de Mayo yang melakukan aksi damai untuk memprotes penghilangan dan pembunuhan anak-anak mereka oleh Junta Militer Argentina.
Seperti halnya ibu-ibu Plaza de Mayo, Sumarsih dan JSKK menggelar aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta, yang dianggap sebagai simbol kekuasaan. Aksi tersebut digelar dari pukul 16.00 hingga sampai 17.00.
Kamis 18 Januari 2007, untuk kali pertama aksi itu digelar dan masih bernama Aksi Diam. Sumarsih bersama kawan-kawan JSKK datang di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat sambil membawa payung hitam.
“Bagi kami, diam bukan berarti kami korban yang bisa dibungkam. Pada waktu itu kami tidak mempunyai uang, terus saya bilang yang tidak tahan lapar membawa bekal. Yang tidak tahan haus membawa minum,” ujar Sumarsih.
Sumarsih menuturkan, awalnya ia mengira Aksi Diam tidak akan bertahan lama. Sebab, pada 1999 pernah ada aksi damai perempuan di Bundaran HI yang dibubarkan oleh polisi karena dituduh ditunggangi oleh Gerwani.
Namun kekhawatiran Sumarsih itu tidak terjadi, aksi itu tetap bertahan hingga kini dan dikenal sebagai Aksi Kamisan.
Dalam perjalanannya, semakin banyak kalangan yang terlibat aksi tersebut. Mulai dari mahasiswa, anak muda, seniman, aktivis, dan kelompok lainnya.
Baca juga:
Banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang disuarakan. Tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok, hingga Tragedi Kemanusiaan 1965.
Aksi Kamisan telah berlangsung sebanyak 760 kali, pada Kamis (19/1/2023). Aksi itu telah menyebar ke sejumlah kota, tidak hanya di Jakarta.