KOMPAS.com - Bulan Ramadhan biasanya terjadi setahun sekali. Tapi pernahkah kamu membayangkan bulan Ramadhan terjadi dua kali dalam satu tahun?
Jika melihat kalender, fenomena unik ini akan terjadi tahun 2030 nanti. Bagaimana penjelasan ilmiah dari fenomena ini, khususnya ditinjau dari pendekatan ilmu fisika?
Guru Besar Fisika Teori IPB University (Institut Pertanian Bogor), Prof Husin Alatas mengatakan, bagi fisika, besaran waktu merupakan sebuah misteri yang belum dapat diungkap penjelasannya secara memadai, dan tampaknya tidak akan pernah bisa.
"Meskipun demikian, bagi manusia, waktu merupakan sesuatu yang nyata dirasakan setiap hari, yang dirasakan melalui kehadiran perubahan di semua aspek kehidupan. Termasuk perubahan yang terkait dengan fenomena alam tertentu,” ucapnya dikutip dari laman IPB, Kamis (10/4/2025).
Baca juga: 6 PTN Buka Jalur Mandiri 2025 Tanpa Tes: UI, UGM, UB, hingga IPB
Bagaimana mengukur besaran waktu? Prof Husin mengurai, untuk menandai dan mengukur besaran waktu, para ilmuwan kerap kali menggunakan fenomena periodik di alam.
"Saat ini, penentu waktu yang sangat akurat dan presisi adalah jam kisi optik yang memanfaatkan transisi frekuensi optik pada atom-atom seperti Ytterbium (Yb), Strontium (Sr) ataupun Aluminum (Al)," terang Prof Husin dikutip dari laman IPB, Kamis (10/4/2025).
Dia menambahkan, penentuan satuan waktu yang akurat memanfaatkan pola turun-naik level energi elektron pada atom-atom tersebut yang sangat stabil.
Pengampu mata kuliah Mekanika Lagrange-Hamilton di Departemen Fisika IPB University ini menambahkan, secara tradisional, sejak dulu telah dikenal cara untuk mengukur waktu dengan memanfaatkan fenomena alam yang bersifat periodik, yaitu pergerakan semu matahari.
Rotasi Bumi menjadi dasar penentuan waktu harian. Adapun revolusi Bumi mengelilingi matahari menghasilkan gerak semu matahari yang digunakan untuk penentuan waktu tahunan dan pergantian bulan.
"Selain itu, gerak periodik bulan juga telah lama digunakan untuk penentuan waktu tahunan, terutama dalam kaitannya dengan pergantian bulan pada kalender lunar, seperti kalender Hijriah," tuturnya.
Baca juga: Dosen Psikolog IPB Beri Tips Atasi Beban Mental saat Lebaran Ditanya Kapan Nikah
Berdasarkan penampakannya, gerak periodik bulan dapat diklasifikasikan menjadi gerak periodik sideral dan sinodik.
Gerak sideral bulan adalah gerak revolusi bulan mengelilingi bumi yang diukur berdasarkan posisi relatifnya terhadap objek tetap langit (seperti bintang, galaksi, atau kuasar).
"Satu periode sideral diukur ketika bulan kembali pada posisi semula setelah mengelilingi bumi dan lamanya sekitar 27,32 hari. Sementara pada periode sinodik yang dijadikan patokan satu gerak revolusi adalah melalui penampakan fase-fase bulan dengan lama 29,53 hari," ungkap dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan, orbit bulan berbentuk elips yang mengelilingi bumi dengan kemiringan sekitar 5,1 derajat terhadap bidang orbit bumi saat mengelilingi matahari.
Kemiringan inilah yang kemudian menyebabkan adanya fase-fase bulan, mulai dari bulan baru, sabit muda, purnama, hingga sabit tua.