Suara tersebut biasanya hanya bisa terdengar di dalam kepala saat membaca manga One Piece dari Eiichiro Oda.
Dua puluh enam tahun setelah karya tersebut pertama kali diterbitkan, One Piece akhirnya diadaptasi ke dalam versi live-action oleh Netflix.
Oda terlibat langsung untuk memastikan bahwa para penggemarnya terpuaskan dengan hasil adaptasi dari Netflix.
Mimpi Luffy menjadi seorang Raja Bajak Laut diucapkan dengan sangat lantang oleh Inaki Godoy dengan senyuman lebarnya.
Namun mimpi itu terasa seperti omong kosong karena Luffy tak memiliki kapal, kru, atau bahkan map untuk mengarungi lautan.
Bermodalkan kepercayaan dirinya yang tinggi, Luffy mulai mengajak orang-orang untuk bergabung menjadi kru bajak lautnya.
Ia mengajak seorang pemburu bajak laut bernama Roronoa Zoro (Mackenyu), seorang pencuri ulung yang jago navigasi bernama Nami (Emily Rudd), seorang pembohong yang jago menembak bernama Usopp (Jacob Romero), dan seorang koki bernama Sanji (Taz Skylar).
Kombinasi yang tak biasa dengan pemimpin yang teledor dan polos ini nyatanya menghasilkan sebuah tim solid.
Bajak Laut Topi Jerami terbentuk dan siap mengarungi lautan Grand Line untuk mencari One Piece.
Di luar pencarian harta karun terbesar peninggalan Gold D. Roger, Bajak Laut Topi Jerami memiliki mimpi-mimpi individu yang ingin dicapai.
Luffy dengan mimpinya menjadi Raja Bajak Laut, Zoro yang ingin menjadi pendekar pedang terhebat, Nami yang ingin menggambar peta dunia, Usopp yang ingin jadi prajurit hebat, dan Sanji yang ingin menemukan All Blue, sebuah tempat di samudera di mana keempat laut bertemu.
Cerita
Secara cerita, One Piece versi live-action menghadirkan cara bertutur yang lebih ringkas dan tak bertele-tele.
Dengan delapan episode, showrunners One Piece langsung menggabungkan beberapa episode dalam anime menjadi satu episode utuh.
Hasilnya terasa sangat baik di mana tak ada lagi episode-episode khusus yang membawa penonton kembali ke masa lalu.
Bayangan-bayangan masa lalu disempilkan ke dalam cerita ketika seorang tokoh memang memiliki kesempatan untuk melakukan hal itu.
Cara ini terbilang efektif untuk memangkas durasi dan membuat penonton menjadi lebih fokus untuk mengenal si karakter.
Visual
Perbincangan utama ketika sebuah manga atau anime diadaptasi ke dalam live-action pasti adalah soal visualisasi.
Namun penonton juga harusnya sudah sadar bahwa visualisasi live-action tak akan bisa mencapai batasan keliaran dari versi manga atau anime.
Ekspektasi tinggi soal visual ini seharusnya mulai diturunkan karena alasan di atas.
Meskipun demikian, penonton juga harus sadar bahwa teknologi CGI dan VFX yang dimiliki oleh Netflix sudah sangat maksimal untuk menunjang kebutuhan dari cerita One Piece.
Hasilnya, One Piece live-action tak mengecewakan.
Efek-efek visual yang ditampilkan masih di batas kewajaran dan tetap menyenangkan untuk ditonton.
Karakter
Para pembaca manga dan penikmat anime One Piece pasti akan merasakan perbedaan karakter dalam versi live-action.
Beberapa karakter mengalami sedikit perubahan untuk menyesuaikan dialog dan ceritanya.
Salah satu perubahan karakter terbesar yang dapat dilihat adalah Nami.
Nami dalam versi live-action bisa langsung ikut bertarung bersama Luffy dan Zoro.
Padahal jika dilihat lagi di versi manga atau animenya, Nami di awal-awal adalah sosok lemah yang selalu harus dilindungi.
Kekuatan Nami baru muncul di pertengahan cerita dengan bantuan senjata dari Usopp.
One Piece versi live-action memilih jalan berbeda untuk karakter Nami yang lebih bad-ass.
Secara keseluruhan One Piece versi live-action tetap menjadi cerita yang seru untuk diikuti.
Gaya bercerita dan pengenalan karakter yang lebih ringkas membuat One Piece ini justru lebih mudah dimengerti, bahkan untuk para pemula yang ingin menyelami dunia fantasi Oda.
/hype/read/2023/09/01/094322766/review-one-piece-live-action