KOMPAS.com - Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum memasang spanduk peringatan di Jembatan Perahu Haji Endang yang berada di Dusun Rumambe, Desa Anggadita, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, pada Senin (28/4/2025).
Spanduk tersebut menyatakan bahwa jembatan perahu yang melintasi Sungai Citarum itu tidak memiliki izin resmi sesuai peraturan yang berlaku.
BBWS menyebut pembangunan dan pengoperasian jembatan perahu tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, serta Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015. Peraturan ini mengatur bahwa pemanfaatan sempadan sungai harus mendapat izin dari otoritas yang berwenang.
Baca juga:
Dalam unggahan di akun Instagram resmi @pu_sda_citarum, disebutkan bahwa keberadaan jembatan ini berpotensi mengganggu fungsi alami sungai, terutama saat debit air meningkat atau ketika terjadi banjir.
Karena itu, BBWS mengimbau pentingnya kepatuhan terhadap regulasi sumber daya air dan mendorong koordinasi antara pengelola jembatan, pemerintah daerah, serta BBWS untuk mencari solusi bersama.
Namun, pada Selasa (29/4/2025), spanduk tersebut diturunkan secara mandiri oleh warga sekitar yang merasa keberadaan jembatan perahu sangat penting bagi aktivitas harian mereka.
Mereka khawatir jika jembatan ditutup, mobilitas warga dan kegiatan ekonomi lokal akan terganggu.
Baca juga:
Muhammad Endang Junaedi, pemilik jembatan perahu tersebut, memberikan tanggapan santai saat dikonfirmasi.
“Itu enggak ada kerjaan. BBWS kan punya pemerintah, kita kan masyarakat. Yang penting enggak merusak lingkungan,” ujarnya.
Endang menambahkan bahwa usahanya sebenarnya telah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Ia mengakui mungkin secara teknis belum mengantongi seluruh izin yang diperlukan.
“Walaupun saya izin sebenarnya ada yah, bolehlah anggap saya ilegal, tetapi manfaatnya banyak,” ungkapnya.
Endang menjelaskan bahwa jembatan yang telah beroperasi selama 15 tahun ini berkontribusi besar terhadap masyarakat sekitar.
Jembatan tersebut menghubungkan dua kecamatan, yakni Klari dan Ciampel, yang setiap harinya digunakan oleh warga untuk bekerja dan berdagang.
Baca juga:
Ia menyebut tarif Rp 2.000 yang dibayarkan pengendara digunakan untuk perawatan jembatan, penerangan, hingga menggaji 40 karyawan yang semuanya berasal dari desa sekitar.