“Perhimpunan advokat dan kekuasaan kehakiman yang bebas berdaulat bersama adalah dua syarat mutlak bagi suatu negara hukum.”
DEMIKIAN pembelaan dari legenda advokat dan pejuang HAM Indonesia, Yap Thiam Hien yang diucapkan pada pleidoi dari Soebandrio, 17 Oktober 1966 silam.
Buah pemikiran Yap Thiam Hien 59 tahun silam itu telah mendorong lahirnya beberapa beleid yang cukup krusial, antara lain UU Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (1970), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP (1981), dan UU Advokat (2003).
Namun, kehadiran tiga legal substance itu kini dianggap sebagai ilusi keadilan dalam secarik kertas.
Dalam Pasal 4 RUU KUHAP yang beredar disebutkan bahwa acara pidana dilaksanakan dengan perpaduan antara sistem hakim aktif dengan para pihak berlawanan secara berimbang dalam pemeriksaan di pengadilan (adversarial system), yang menjamin keseimbangan hak penyidik, hak penuntut umum, dan hak tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana.
Namun ironisnya, “penyematan” status advokat sebagai penegak hukum, bebas, dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 5 UU Advokat hanya terkesan sebagai “pemanis” saja.
Baca juga: Kaki Advokat Naik Meja Sidang, Awal Runtuhnya Wibawa Peradilan
Padahal advokat merupakan satu-satunya penegak hukum yang ada di setiap tingkat pemeriksaan perkara pidana.
Tidaklah mengherankan banyak advokat yang mengalami ketidakadilan, bahkan sampai harus menjadi pesakitan.
Sebut saja Kenny Wisha Sonda yang bekerja sebagai legal counsel di perusahaan yang dipidana karena memberikan pendapat hukum untuk pimpinannya.
Kasus lain, Tony Budidjaja yang dipidana karena membuat laporan untuk mempertahankan hak kliennya untuk menjalankan putusan arbitrase internasional.
Meski sempat dianggap sebagai masterpiece untuk menggantikan HIR peninggalan Belanda, kini KUHAP sudah terlalu usang dan harus diganti untuk mendukung pelaksanaan KUHP Baru dan kebutuhan hukum acara pidana modern.
Kuatnya tarik menarik kewenangan antaraparat penegak hukum yang menyebabkan terhentinya pembahasan RUU KUHAP di tahun 2012 pun sama sekali belum mengoptimalkan peran advokat sebagai penegak hukum.
Dalam opininya di Harian 优游国际 pada 20 Maret 2025, advokat senior Luhut MP Pangaribuan mengemukakan tesisnya mengenai tiga hak dan kewenangan advokat.
Pertama, advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri. Kedua, mengenai imunitas dari profesi advokat. Ketiga, kewenangan pembelaan yang dimiliki oleh advokat.
Sebaliknya, advokat senior Frans Hendra Winarta pernah mempertanyakan apakah advokat merupakan penegak hukum atau hanya sebagai pembela?