JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah 26.800 arsitek telah bernaung dalam organisasi profesi Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).
Kendati demikian, terdapat sejumlah masalah besar yang dihadapi oleh arsitek di Tanah Air.
Hal inilah yang dikemukakan tiga Calon Ketua Umum (Caketum) IAI Periode 2024-2027 Georgius Budi Yulianto (Boegar), Ariko Andikabina, serta Budi Pradono.
"Jadi, problematika di Indonesia adalah setelah lulus, dia itu tidak bisa mengklaim dirinya itu arsitek," ungkap Budi Pradono.
Dia menambahkan, terdapat jenjang waktu untuk menjadikan seseorang sebagai profesional arsitek.
Calon arsitek ini harus menempuh Program Profesi Arsitek (PPA), status magang, setelahnya baru bisa diberikan ujian untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA) guna legitimasi sebagai arsitek profesional.
Baca juga: 3 Caketum IAI Terpilih, Ini Visi Misinya
"Nah, sekarang problem-nya (masalahnya) jenjang itu tidak diikuti, belum secara masif secara nasional diikuti," cetus Budi.
Ariko menambahkan, tantangan tersebar yang dihadapi arsitek Indonesia adalah dalam tataran praktik profesional.
"Isu terbesarnya bagaimana sebenarnya kita bisa membuat praktik itu sendiri menjadi lebih baik," kata dia.
Kendati demikian, dia tak menampik bahwa arsitek bekerja untuk klien. Namun di atas klien, terdapat super-client yakni masyarakat.
Jadi, bagaimana kemudian praktik arsitek maupun arsitektur secara khazanah dapat mendatangkan manfaat.
Kendala lainnya adalah legal formal yang kerap masih diabaikan para arsitek yang melakukan praktik arsitektur.
Sementara Boegar mengungkapkan, terdapat tiga hal yang menjadi perhatian di Indonesia.
"Pertama, kita ada di negara yang semuanya belum sinkron ya, kalau sinkron malah aneh gitu," kelakarnya.
Menurut Boegar, Pemerintah melakukan sinkornisasi dan harmoniasi regulasi soal keprofesian beserta undang-undang (UU) turunannya.
Baca juga: