KOMPAS.com - Pada 26 Juli 1950, Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Belanda dibubarkan.
Pembubaran ditandai dengan penyerahan kepemimpinan Dir Cornelis Buuman van Vreeden selaku Komandan KNIL kepada Angkatan Perang Republik Indonesia (APRIS), sekarang TNI.
Langkah ini merupakan bentuk realisasi salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), yang menyatakan bahwa KNIL dibubarkan, dan beberapa anggotanya yang diperlukan masuk dalam kesatuan TNI.
Namun, sebagian pasukan KNIL ternyata tidak mau bergabung ke dalam APRIS sesuai dengan keputusan KMB.
Lantas, apa latar belakang penyebab pasukan KNIL menolak bergabung dengan APRIS?
Baca juga: KNIL, Tentara Kerajaan Hindia Belanda
Tentara KNIL bentukan Pemerintah Belanda terdiri dari para prajurit bayaran dari Perancis, Jerman, Belgia, Swiss, dan masyarakat pribumi Indonesia.
Pada 1936, jumlah anggota KNIL dari golongan pribumi mencapai 34.000 orang, yang mayoritas berasal dari Ambon, Sulawesi, dan Jawa.
Sejak dibentuk, tentara KNIL ditugaskan dalam berbagai macam misi sesuai keinginan Pemerintah Belanda.
Setelah Perang Dunia II berakhir dan Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan, KNIL digunakan untuk merebut kembali kedaulatan Indonesia, termasuk dalam peristiwa Agresi Militer Belanda.
Kemudian, setelah KMB dan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia, KNIL dibubarkan dan bekas anggotanya yang masih berkeinginan menjadi anggota angkatan perang bergabung dengan APRIS.
Namun, sebagian pasukan KNIL tidak mau bergabung ke dalam APRIS sesuai dengan keputusan KMB karena mereka khawatir diperlakukan secara diskriminatif.
Baca juga: Pembatalan Hasil Perjanjian KMB dan Dampaknya
Sebagaimana disebutkan, pada masa perang revolusi, tentara KNIL digunakan untuk merebut kembali kedaulatan Indonesia.
Artinya, selama periode tersebut, anggota KNIL dari golongan pribumi harus melawan bangsanya sendiri.
Oleh sebab itu, sebagian pasukan KNIL tidak mau bergabung ke dalam APRIS karena merasa akan dianggap sebagai pengkhianat yang pernah melawan pemerintah republik Indonesia semasa revolusi.
Di kalangan TNI sendiri juga ada keengganan bergabung dengan mantan anggota KNIL, bekas lawan mereka.
Pada akhirnya, mantan anggota KNIL pribumi menginginkan agar kesatuannya ditetapkan sebagai angkatan perang negara bagian, yang tidak dikabulkan pemerintah Indonesia.
Hal itulah yang menimbulkan peristiwa Pemberontakan APRA di Bandung, Pemberontakan Andi Azis di Makassar, Peristiwa RMS di Maluku, dan pergolakan yang dilakukan mantan anggota KNIL di beberapa daerah lainnya.
Referensi: