KOMPAS.com - Demokrasi Terpimpin adalah sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia dari tahun 1959 hingga 1966, di mana kekuasaan atau semua proses pengambilan keputusan dan kebijakanterpusat di tangan Presiden Soekarno.
Pada sidang Badan Pekerja Komite Nasional (BPKN) di Yogyakarta tahun 1948, disampaikan tentang prinsip bebas aktif dalam politik luar negeri Indonesia.
Politik bebas aktif membuat Indonesia seharusnya tidak berpihak pada Blok Barat (Amerika Serikat) maupun Blok Timur (Uni Soviet), yang saat itu dalam masa Perang Dingin.
Kenyataannya, pada masa Demokrasi Terpimpin politik luar negeri Indonesia condong ke Blok Komunis atau Blok Timur.
Mengapa politik luar negeri Indonesia lebih condong ke Blok Timur pada masa Demokrasi Terpimpin dan apa buktinya?
Berikut ini bukti politik luar negeri Indonesia memihak Blok Timur.
Baca juga: Latar Belakang Lahirnya Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia
Salah satu bukti politik luar negeri Indonesia masa Demokrasi Terpimpin cenderung ke Blok Timur adalah Soekarno mengeluarkan gagasan yang ia sebut sebagai Nasionalis, Agamis dan Komunis (Nasakom).
Dalam gagasan tersebut, Presiden Soekarno berusaha menyatukan kelompok nasionalis, agamis, dan komunis.
Melansir esi.kemdikbud.go.id, pada masa Demokrasi Terpimpin, Nasakom telah menjadi salah satu idelogi utama yang secara praktis mendapat bentuk kelembagaan dalam wadah Front Nasional, yang beranggotakan orang-orang dari unsur nasionalis, agama, dan komunis.
Nasakom menjadi kekuatan utama dalam ketiga partai politik saat itu, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan kelompok nasionalis, Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi poros kekuatan para agamis, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai kekuatan komunis.
Gagasan Nasakom yang aktif dikampanyekan Soekarno tentunya mempengaruhi politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif tanpa memihak blok manapun.
Hatta menilai gagasan ini membuat Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin cenderung berpihak ke Blok Timur.
Baca juga: Nasakom, Konsep Kesatuan Politik ala Soekarno
Politik luar negeri Indonesia lebih condong ke Blok Komunis/Timur pada masa Demokrasi Terpimpin terbukti dengan adanya Poros Jakarta-Pyongyang-Peking.
Hubungan kerja sama yang diresmikan pada Januari 1965 itu merupakan rumusan politik luar negeri ala Soekarno yang cenderung anti-Barat dan condong ke negara-negara komunis, meskipun mengusung politik luar negeri bebas aktifis.
Pembentukan poros ini bermula dari penentangan Soekarno terhadap pembentukan federasi Malaysia yang ia anggap sebagai bentuk imperialisme Barat di Asia.