KOMPAS.com - Hai, apa kabarmu?
Di tengah situasi serba tidak pasti dan terbatas karena ruang gerak lantaran pandemi, sepekan terakhir kita dibuat sesak karena omnibus law. Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja usulan Presiden disetujui DPR RI di Rapat Paripurna, 5 Oktober 2020.
Di kota-kota besar, massa turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya. Mayoritas aspirasi yang disampaikan adalah penolakan. Elemen buruh, mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya turun ke jalan.
Ada kekerasan. Ada kerusakan. Beberapa pihak menjadi korban karena kekerasan dan kerusakan yang timbul karena gelombang penolakan terhadap RUU Cipta Kerja yang telah disetujui DPR.
Disinformasi dan simpang siur informasi terkait RUU Cipta Kerja membuat situasi makin tidak menentu. Banyak berita beredar yang kemudian
Banyak bantahan kemudian dikemukakan oleh pihak yang berkepentingan dengan RUU Cipta Kerja yaitu DPR dan Pemerintah dalam hal ini Presiden.
Anehnya, sampai saat ini, sumber perdebatan dan sumber bantahan DPR dan Pemerintah yaitu naskah final yang telah disepakati DPR dengan Presiden yaitu .
Atas dasar apa DPR dan Pemerintah membantah disinformasi yang beredar jika rujukan atas bantahan itu tidak disertakan?
Disinformasi bisa diminimalkan terjadi jika DPR dan Pemerintah tidak ugal-ugalan melabrak semua kelaziman dengan membuka akses RUU Cipta Kerja ke publik.
Alasan ketidaklaziman atau ugal-ugalan dengan tidak memberi akses publik kepada naskah final RUU Cipta Kerja itu dikemukakan. DPR katanya sedang menyisir dan mengecek kemungkinan salah tanda baca dan tipo.
. Gedung DPR akan buka kembali pada 9 November 2020, saat sidang kedua tahun 2020-2021.
Untuk disinformasi yang terjadi, DPR dan Pemerintah punya andil paling dominan. Tidak memberi akses atas rujukan yang menjadi sumber perbantahan adalah bukti besarnya andil ini.
Karena itu, agak menggelikan jika DPR dan Pemerintah membantah disinformasi. Disinformasi terjadi justru karena DPR dan Pemerintah punya andil memungkinkan disinformasi itu terjadi. Informasi yang memadai tidak diberikan.
Andil DPR dan Pemerintah untuk disinformasi ini paling besar karena menutup akses atas rujukan. Secara sepihak, DPR dan Pemerintah menyatakan benar atau salah tanpa pihak lain diberikan pijakan untuk menguji sesuatu sebagai benar.