KASUS jual-beli penerimaan mahasiswa baru lewat jalur mandiri di Universitas Lampung (Unila) kini memasuki babak baru. Persidangan kasus tersebut yang kini bergulir di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandar Lampung maupun pemeriksaan saksi-saksi terkait kasus itu di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan fakta-fakta baru yang mencengangkan.
Suap yang diterima bekas Rektor Unila, Profesor Karomani, dari berbagai kalangan ternyata layak disebut kasus “pemersatu bangsa”. Betapa tidak, mereka yang terlibat bukan saja lintas geografi dan lintas personal karena melibatkan banyak kalangan, tetapi juga mencakup lintas partai politik dari para pihak, bahkan menjangkau lintas “ideologi”.
Calon mahasiswa yang dititipkan masuk tidak saja terkait dengan keluarga beberapa kepala daerah, tetapi juga ada menteri asal partai Partai Amanat Nasional (PAN), titipan anggota DPR-RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sponsor dari petinggi Partai Nasdem Lampung, back up dari elite Golkar, pengusaha, pegawai negeri bahkan dari “pendekar” Spektrum. Korupsi tidak saja berwujud fulus, tetapi juga mebel. Tidak saja mata uang rupiah tetapi juga valuta asing serta logam mulia.
Baca juga:
Untuk menjalankan mafia penerimaan mahasiswa hasil sogokkan itu, Karomani melibatkan Wakil Rektor I Bidang Akademik, Ketua Senat Unila, Kepala Biro Perencanaan dan Humas serta dosen. Semua “guyub” bersatu demi harta berlimpah. Dasyat pokoknya.
Jika dulu institusi pendidikan tinggi dianggap sebagai tempat pendidikan untuk mencetak (maha)siswa yang beraklak mulia dengan kompetensi unggul yang diakui, di tangan Profesor Karomani semuanya dijungkirbalikkan. Kampus dijadikan ajang mencari kekayaan yang (maha)banyak dengan melupakan tujuan mulia mendidik tunas-tunas bangsa di kampus kebanggaan warga Lampung.
Sebagai lulusan sekolah menengah atas (SMA) angkatan 1986, saya berkesempatan mengikuti tiga kali tes ujian masuk perguruan tinggi negeri (PTN) yakni di tahun 1986, 1987 dan terakhir kesempatan ikut di tahun 1988. Tiap malam pekerjaan saya hanyalah bergadang dan bergadang sembari mengotak-atik soal-soal dari tes ujian masuk PTN tahun-tahun sebelumnya.
Saya tidak ingin menyusahkan orangtua yang miskin dan bertekad masuk PTN. Dulu di tahun 1986, Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru atau Sipenmaru adalah seleksi yang harus dilalui lulusan SMA dan sederajat agar bisa masuk PTN. Untuk bisa masuk PTN “top” seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), atau Universitas Gajah Mada (UGM) harus dilalui susah payah oleh para calon mahasiswa.
Baca juga:
Alhasil saya tembus dua kali, di tahun 1986 masuk Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI dan kesempatan terakhir tahun 1988 diterima masuk di Fakultas Hukum UI. Karena masuk lewat jalur tes, saya hanya membayar uang kuliah Rp 110 ribu per semester di Kimia UI dan Rp 180 ribu di Fakultas Hukum UI.
Tanpa mengecek apakah saya berasal dari keluarga tidak mampu atau pra-sejahtera, UI menerapkan biaya kuliah per semester yang berbeda di setiap angkatan. Mahasiswa UI angkatan 1985, hanya membayar Rp 50 ribu per semester dan Rp 25 ribu untuk angkatan 1984.
Itulah daya tarik masuk PTN bagi saya yang berasal dari keluarga pensiunan tentara berpangkat rendah. Berbiaya terjangkau. Masuk ke perguruan tinggi swasta (PTS) pasti tidak mampu karena calon mahasiswa akan dibebani berbagai pungutan biaya, ketika itu.
Melihat adanya jalur mandiri yang mulai diperkenalkan sejak 2010, unsur “seleksi” menjadi sirna karena “jalur tikus” sangat dimungkinkan dengan adanya “orang” macam Profesor Karomani. Melihat tarif yang “dipalak” Karomani untuk lolos Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila), membuat jantung saya “deg-degan”.
Baca juga:
Bayangkan untuk mahasiswa kedokteran, Karomani memasang tarif Rp 650 juta dan yang termurah untuk fakultas-fakultas lain dibanderol Rp 100 juta. Tarif yang dipatok Pak Rektor bisa ditawar, tergantung negosiasi dan lobi tentunya.
Dari penyisiran yang dilakukan, KPK berhasil mengamankan aset senilai puluhan miliar rupiah. Selain uang tunai Rp 2,5 miliar, KPK juga menyita puluhan deposito, emas batangan, uang dalam dalam berbagai pecahan valuta asing.
Kasus korupsi Rektor Unila, Profesor Karomani, tidak saja mencoreng institusi pendidikan tetapi juga mendegradasi makna agung dari “infak”. Dengan dibalut untuk infak bagi Lampung Nadhliyin Center, Karomani menerima “infak” dari orang-orang yang menitipkan calon mahasiswa yang ingin diterima di Unila.
Melihat pola dan sebaran pihak-pihak yang terkait dalam pusaran “jual beli” bangku mahasiswa yang dijalankan Karomani, tampaknya modus operandinya begitu masif dijalankan dengan beragam cara.
Baca juga: