KUNJUNGAN Apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia telah usai. Ia hangat menjadi perbincangan nasional: mulai dari semangat, perkataan, hingga tindak kesederhanaanya. Banyak orang pun takjub, tak sedikit pula tersipu.
Kunjungan Paus Fransiskus menjadi bermakna karena momen-momen emosional, yang harapannya membangkitkan spiritual yang terjawantahkan dalam tindak nyata.
Apa yang bisa kita hayati dalam peristiwa penting ini?
Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, namun juga menjadi salah satu negara religius. Agama menjadi bagian penting yang mewarnai sejarah bangsa. Ia menyatu dalam perjalanan suka duka bangsa.
Dengan merujuk Pembukaan Undang-Undang Dasar, Paus memuji bagaimana nilai-nilai ketuhanan menjadi landasan hidup Indonesia.
“Tidak ada sejengkal pun dari wilayah Indonesia yang mengagumkan ini … yang bukan merupakan anugerah dari Tuhan,” lanjutnya.
Namun penghayatan sikap beriman tak terjadi tanpa tantangan. Sikap proselitisme menjadi ancaman tersendiri.
Alih-alih menghayati keagamaan secara sukacita dan membagikannya pula dengan penuh kegembiraan, sikap proselitisme menjangkit karena kekerasan hati akibat ekstremisme.
Dalam hal ini perbedaan menemukan titik tegangnya: ketika sikap individual yang ditandai dengan adanya paksaan terhadap kepentingan sendiri, penekanan berlebih pada posisi diri dan narasi historis sepihak dengan segala upaya, maka perbedaan menjadi ancaman.
Kekudusan keberagamaan terbelokkan akibat fundamentalisme sempit. Ujung jalan dialog adalah kebuntuan karena dianggap sebagai penyerahan identitas dan jalan sikap kompromi pada iman.
Akibatnya ego sektoral memumpuk berbagai prasangka buruk. Termasuk berujung pada tindak intoleransi dengan cara-cara kekerasan.
Celakanya fundamentalisme agama menyatupadu dalam realitas politik. Keluhuran agama tereduksi pada gerakan sempit demi tujuan segelintir pihak.
Akibatnya pemilik kuasa diuntungkan dan relasi keragaman rakyat terkoyak. Pengalaman pemilihan umum di Indonesia telah beberapa kali menunjukkan pola demikian.
Bangsa Indonesia memiliki modal besar untuk keluar dari jurang kemuraman tersebut, yakni eratnya rasa persaudaraan antarpribadi.
Paus Fransiskus menyorot hal ini dengan beberapa kali menyebut ‘Bhinneka Tunggal Ika’, baik dalam pidatonya di Istana Negara dan Masjid Istiqlal. Serta menyebut keramahan masyarakat Indonesia, yang memiliki ‘senyumnya yang khas’ saat Misa Akbar di Gelora Bung Karno.