AWAL 2025, pemerintah resmi memperkenalkan program makan bergizi gratis (MBG) untuk anak-anak sekolah. Program tersebut langkah strategis memerangi malnutrisi dan meningkatkan kualitas pendidikan.
Memang, banyak studi yang menunjukkan bahwa nutrisi yang baik pada masa pertumbuhan anak berkorelasi positif dengan kemampuan belajar, produktivitas di masa depan, dan kualitas kesehatan.
Dengan memastikan tercukupinya asupan gizi anak-anak, pemerintah berupaya mengintervensi masa depan mereka agar lebih cerah dengan mempersiapkan mereka menjadi individu yang produktif secara ekonomi.
Laporan dari Food and Agriculture Organization atau FAO (2020) bertajuk “Legal Guide on school food and nutrition” menunjukkan bahwa akses ke makanan bergizi di sekolah membawa dampak signifikan.
Program tersebut mampu meningkatkan kehadiran siswa, memperbaiki performa akademik, hingga mengurangi angka putus sekolah.
Dalam konteks Indonesia, program MBG juga dapat menciptakan efek domino secara positif. Bila ditelisik lebih dalam, program tersebut berpotensi besar membawa dampak ekonomi jangka panjang. Misal, yang mungkin tak terbayangkan, melalui potensi penerimaan pajak negara.
Tentunya, selain ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan generasi muda, program MBG harus diarahkan agar menjadi investasi strategis untuk memperkuat basis ekonomi sehingga penerimaan pajak optimal di masa depan.
Jika dirancang ke arah sana, program MBG juga akan berkelanjutan mengingat alokasi pasti dari pajak.
Lalu, bagaimana caranya program MBG berkontribusi pada penerimaan negara di masa depan? Jawabannya terletak pada peran anak-anak penerima manfaat program tersebut sebagai wajib pajak kemudian hari.
Tujuan utama dari program MBG selayaknya menciptakan generasi sehat yang produktif secara ekonomi.
Ketika anak-anak yang menerima manfaat dari program ini tumbuh dewasa, mereka memiliki peluang lebih besar untuk menamatkan studi sampai perguruan tinggi, lalu memasuki pasar kerja formal, hingga memperoleh pendapatan yang layak.
Lewat jalur ini, mereka berpotensi menjadi wajib pajak yang berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.
Temuan Rouzet dkk. (2019) berjudul “Fiscal challenges and inclusive growth in ageing societies” menunjukkan bahwa negara-negara dengan populasi sehat dan berpendidikan cenderung memiliki basis pajak yang lebih luas dan stabil.
Di usia 55 tahun, mereka yang kurang berpendidikan sangat mungkin sudah pensiun serta kecil kemungkinannya untuk mendapatkan pekerjaan baru dibandingkan jika mereka terdidik serta tetap aktif dan sehat.
Negara-negara yang menghadapi masalah kesehatan seperti malnutrisi lazimnya mengalami stagnasi ekonomi karena produktivitas tenaga kerja yang rendah.