优游国际

Baca berita tanpa iklan.
Salin Artikel

Belajar Kembali ke Sekolah, Bagaimana Masa Depan EdTech?

SAAT kemunculannya, EdTech diharapkan mendisrupsi dunia pendidikan dan dapat menjadi solusi permasalahan ketimpangan pendidikan yang disebabkan oleh tidak meratanya kualitas guru di Indonesia.

Melalui EdTech siswa di seluruh Indonesia memiliki akses untuk belajar melalui guru yang sama.

Kemudian badai Covid-19 datang memaksa dunia pendidikan berubah. Belajar online menjadi kebutuhan, EdTech mendapatkan momennya untuk bersinar.

Sekarang kasus Covid-19 telah mengalami penurunan, proses belajar-mengajar perlahan tapi pasti kembali dilakukan di sekolah. Akankah EdTech mampu menghadapi perubahan ini?

EdTech di masa pandemi

Pada 2013, terjadi lonjakan kemunculan start-up EdTech yang memang saat itu sedang terjadi fenomena start-up.

Menurut data dari laporan Worldbank 2020 yang berjudul EdTech in Indonesia – Ready for Take-Off?, sebanyak 80 persen pengguna EdTech adalah siswa kelas 11 dan 12 yang sedang bersiap untuk mengikuti UTBK (Uji Tulis Berbasis Kompetensi).

Sangat kecil dibandingkan dengan total siswa Indonesia yang sebagian besarnya masih duduk di bangku SD. Siswa kelas 11 dan 12 hanya kurang 20 persen total siswa.

Walaupun EdTech telah bermunculan sejak 2013, hingga 2020 EdTech tidak memiliki pertumbuhan yang signifikan. Hal ini disebabkan rendahnya kemauan orangtua untuk membayar layanan yang diberikan.

Orangtua adalah pembuat keputusan para siswa untuk membeli atau tidak membeli jasa pendidikan anak.

Sebagian besar orangtua masih khawatir untuk mengadopsi teknologi yang tercermin dari rendahnya tingkat literasi digital di Indonesia yang berada di poin 3,49 pada 2021. Menurut data dari World Bank, hanya 49 persen pengguna yang bersedia membayar jasa pendidikan digital.

Pilihan diskon tidak begitu menarik karena banyaknya tawaran untuk menggunakan akun gratis. Dibandingkan dengan kata “diskon” tentulah kata “gratis” lebih menarik.

Sayangnya pengguna yang mau berpindah dari rencana pembayaran gratis ke premium tidaklah besar, hanya 3 persen.

Tantangan lain yang harus dihadapi EdTech adalah rendahnya literasi digital guru serta rendahnya ketersediaan infrastuktur digital. Tak disangka, kedatangan Covid-19 meringankan tantangan-tantangan ini.

Penutupan sekolah memaksa pembelajaran online terjadi. Mau tak mau sekolah, guru, dan orangtua harus mengadopsi teknologi.

Pemerintah cepat-cepat mengambil tindakan untuk menghadapi krisis ini. Kemendikbudristek memberikan kuota belajar untuk siswa PAUD hingga dosen untuk mengakses website dan aplikasi pembelajaran.

EdTech telah mendapatkan momennya untuk bersinar dan telah berusaha untuk membuktikan dirinya mampu meningkatkan proses pembelajaran siswa serta mendukung kegiatan pembelajaran sekolah.

Ruangguru adalah platform yang paling sering didengar pada masa pandemi karena penggagasnya Belva Devara diangkat menjadi staf khusus milenial Presiden dan dipilihnya Ruangguru sebagai salah satu mitra program kartu prakerja.

Pada awal 2020, pengguna Ruangguru meningkat hingga 22 juta orang dari sebelumnya 15 juta pada 2019. Artinya meningkat sebesar 47 persen sekitar 1 tahun. Suatu peningkatan yang luar biasa!

Sebanyak tak kurang dari 70 persen pengguna Ruangguru merupakan siswa yang yang berasal dari keluarga menengah ke bawah yang tersebar di 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi.

Pada 14 Maret 2020, Ruangguru membuka Sekolah Online Ruangguru gratis yang memuat video sesuai kurikulum sekolah. Selain itu, Ruangguru juga memiliki dua produk andalan lainnya, yaitu Brain Academy Online dan Ruangkelas.

Brain Academy Online fokus kepada live teaching dan diskusi secara daring. Ruangkelas adalah LSM (learning system management) yang diperuntukan agar guru dapat membuat grup kelas untuk membagikan materi dan mengumpulkan tugas.

Selama perjalanannya, Ruangguru mengklaim bahwa sudah ada sedikitnya 30.000 sekolah yang menggunakan layanan ruangkelas dan telah mengakomodasi 90.000 guru dan 400.000 siswa sejak peluncurannya, yaitu Agustus 2017 hingga 2023.

Brain academy yang diluncurkan 2 tahun setelahnya mengaku telah membantu meloloskan setidaknya 500 siswa ke PTN (Perguruan Tinggi Negeri) selama 4 tahun.

Tak hanya Ruangguru saja yang berhasil mengambil momennya untuk tumbuh, platform EdTech lainnya juga mengalami pertumbuhan yang signifikan.

Setidaknya terjadi pertumbuhan pengguna sebesar 200 persen pada Maret 2020 (sumber: world bank). Perkembangan yang luar biasa ini membuat investor berlomba-lomba untuk menanamkan modalnya pada sektor EdTech.

Dikutip dari TechinAsia, total jumlah pendanaan yang mengalir ke sejumlah startup di sektor ini per bulan April 2022, sedikitnya mencapai 277 juta dollar AS (sekitar Rp 3,9 triliun).

Salah satunya adalah Ruangguru dengan total penggalangan dana mencapai 205 juta dollar AS (sekitar Rp 2,8 triliun). Artinya Ruangguru menyedot 74 persen total dana investasi.

Sayangnya kenaikan jumlah pengguna dan dana investor tidak berbanding lurus dengan penyebaran layanan. Daya jangkau EdTech masih berpusat pada perkotaan, terutama pulau Jawa.

Sebanyak 83 persen rumah tangga di Jakarta menyediakan layanan belajar online kepada anaknya. Sedangkan rata-rata di daerah pulau Jawa lainnya 43 persen, luar jawa 38 persen. Hanya 38 persen keluarga dengan pendapatan rendah yang mampu menyediakan pembelajaran online.

Penyebab utamanya adalah kurangnya perangkat pendukung (smartphone atau laptop) dan kecepatan internet yang masih rendah.

Akankah EdTech selamat menghadapi Bubble Burst?

Menurunnya kasus Covid-19 membuat kegiatan belajar-mengajar kembali dilakukan secara tatap muka.

Di India telah terjadi buble burst EdTech. Pada pertengahan 2022 telah tercatat 3.700 pegawai yang bekerja di sektor EdTech mengalami PHK, jumlah ini terus bertambah menjadi 8.000 pada akhir 2022 (sumber: edtechreview.in).

Akankah Indonesia mengalami hal yang sama? Di Indonesia sejumlah EdTech telah mengurangi pegawainya.

Sepanjang 2022 Ruangguru telah mengurangi ratusan pegawainya. Zenius juga melakukan hal yang sama terhadap 200 pegawainya. Pahamify diperkirakan memutus hubungan kerja dengan 140 pegawai dan Binar melakukan PHK terhadap 20 persen pegawai.

Sebelum mengambil kesimpulan mari kita kupas dulu permasalahan utama sektor EdTech di Indonesia.

Perkembangan digital infrastuktur

Pemerintah terus melakukan upaya pembangunan infrastuktur digital, salah satunya melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) Palapa Ring Barat, Tengah dan Timur yang telah beroperasi melayani lebih dari 514 Kabupaten dan Kota.

Pembangunan juga dilakukan pada proyek Satelit Multifungsi Satria dengan target kapasitas utama sebesar 150 Gb/detik dan backup sebesar 80 Gb/detik.

Selain itu, Pemerintah juga melakukan pengembangan Data Center di KEK Nongsa, Batam yang direncanakan mampu menghemat devisa negara dalam bisnis digital sebesar Rp 20 triliun hingga Rp 30 triliun per tahun.

Pembangunan data center di Indonesia akan berpengaruh kepada kecepatan internet karena jarak yang harus ditempuh oleh data lebih dekat dibandingkan dengan data center yang berada di luar negeri.

Kesediaan membayar

Model bisnis yang sering digunakan oleh platform EdTech adalah freemium. Pengguna dapat mengakses layanan dasar secara gratis dan membayar untuk fitur khusus yang disebut premium.

Namun era “bakar uang” di kalangan startup telah selesai. Investor lebih berhati-hati dalam memutuskan untuk menanam modal di startup.

Startup tak lagi bisa bergantung kepada dana investor untuk bertahan dan harus menghasilkan profit. Jika tidak, platform-platform tersebut harus terus-menerus mengurangi pegawainya atau bangkrut.

Model bisnis freemium mulai tidak relevan. Startup tidak lagi bisa sekadar membicarakan revenue, tetapi harus mengejar profit.

Selayaknya model bisnis konvensional, pengguna diharapkan untuk membayar layanan yang digunakan agar EdTech memiliki cash flow yang positif. Tak dipungkuri, penggantian bisnis model tidak mungkin langsung terjadi dalam satu hari.

Untuk masalah pengenalan produk tentu freemium masih diperlukan. Saat produk sudah dikenal, maka perusahaan dapat mengenakan biaya layanan karena pengguna sudah merasakan produk telah mampu memenuhi kebutuhan pengguna.

Sayangnya yang memutuskan untuk membeli/tidak adalah orangtua, bukan anak sebagai pengguna EdTech. Terlebih hasil dari menggunakan layanan EdTech tidak langsung terlihat karena pendidikan adalah investasi masa depan.

Faktor apa yang akan membuat kesediaan orangtua untuk membayar meningkat? Jawabannya adalah literasi digital. Kesediaan orangtua untuk membayar produk EdTech diperkirakan akan meningkat seiring dengan meningkatnya literasi digital orangtua.

Bila orangtua sudah berani mengadopsi teknologi dan memahami kegunaan Edtech, orangtua akan mendorong anak untuk belajar secara digital sebagai penopang pembelajaran sekolah.

Indeks literasi digital Indonesia telah naik sebesar 0,05 pada 2022 menjadi 3,54. Sejalan dengan peningkatan literasi digital Indonesia, industri digital Indonesia juga tumbuh secara signifikan.

Transaksi yang awalnya berjumlah 41 miliar dollar AS (sekitar RP 615 triliun) di 2019 menjadi 77 miliar dollar AS (sekitar Rp 1.155 triliun) tahun 2022 atau terjadi peningkatan sebesar 88 persen.

Pada tahun 2025, jumlahnya diperkirakan akan terus meningkat menjadi 130 miliar dollar AS (sekitar Rp 1.950 triliun) (sumber: fulcrum.sg).

Jumlah pengguna juga melonjak tinggi dari 150 juta pengguna di 2019 menjadi 203 juta pada 2021. GMV digital Indonesia 70 persen di antaranya bersumber dari e-commerce.

Media online, yang termasuk di dalamnya EdTech, total transaksinya masih di bawah 10 miliar dollar AS. Secara nilai, GMV media online memang tidak besar, tetapi trennya terus naik selama 4 tahun terakhir.

Kesimpulan

Di era digital sekarang ini, EdTech bukan lagi mahluk asing lagi baik untuk sekolah, guru, orangtua dan siswa.

Kesediaan masyarakat untuk membayar layanan digital meningkat. Sementara itu, pemerintah pun terus meningkatkan infrastuktur digital.

Pasar yang belum digarap masih luas mulai dari siswa kelas 1 hingga kelas 10 atau sekitar 40 juta murid, suatu jumlah yang cukup besar.

Namun, apakah siswa menyukai proses pembelajaran online? Masyarakat Indonesia suka bersosialisasi dan tetap membutuhkan tatap muka.

Kenyataannya, 14 persen siswa mengaku kehilangan minat belajar mereka dari awal pandemi. Selain itu, bagi orangtua, fungsi pengawasan pada anak berkurang bila memilih EdTech dibandingkan dengan bimbingan belajar offline.

Bila ingin tetap bertahan, EdTech harus mampu menjawab tantangan-tantangan ini. EdTech harus mampu untuk menyediakan konten yang interaktif, proses pembelajaran yang komunikatif serta membangun komunitas untuk belajar. Bukan hanya menyediakan video pembelajaran seperti yang dilakukan Udemy ataupun Youtube.

Melihat tantangan ini, Ruangguru dan Zenius telah mengambil langkah strategis. Ruangguru membuka Brain Academy offline, bimbingan belajar (bimbel) yang menerapkan sistem pembelajaran hybrid.

Sementara itu, Febuari 2022 Zenius telah mengakuisisi Primagama, bimbel offline yang telah memiliki 300 cabang dengan 3,000 tenaga pengajar untuk mengimplementasikan metode belajar hybrid.

Langkah ini membuat Zenius langsung memiliki banyak cabang yang tersebar di seluruh Indonesia, bandingkan dengan Brain academy milik Ruangguru yang baru memiliki 36 cabang. Dengan demikian, Zenius kini berada di barisan paling depan di pasar bimbel hybrid.

Primagama yang merupakan pemain lama telah berkecimpung selama 40 tahun di bimbel konvensional dapat dengan lebih mudah untuk mengubah bisnis modelnya dan menyesuaikan dengan kondisi new normal.

Yah, pandemi membuat semua tak lagi sama. Semua lini bisnis menghadapi perubahan. Kolaborasi ini terlihat sebagai langkah yang sangat efektif untuk bertahan dan bahkan menjadikan perusahaan ini menjadi yang terdepan di pasar Pendidikan mengingat Zenius dan Primagama yang sudah dikenal sebagai pemain besar di bidangnya masing-masing. Perkawinan ini akan membuat mereka saling mengisi dan menguatkan.

Tidak hanya itu, Zenius bahkan menunjukan keseriusannya untuk menggarap pasar SD dengan menggaet Disney dan meluncurkan ZeniusLand, aplikasi pembelajaran yang dikemas dengan elemen permainan dan cerita. Cara ini diharapkan mumpuni membuat siswa betah belajar online.

Pendidikan adalah kebutuhan primer manusia. EdTech akan selalu memiliki pasar. Selama Ia mampu untuk terus berinovasi dan menjawab tantangan pasar.

/edu/read/2023/04/08/070000171/belajar-kembali-ke-sekolah-bagaimana-masa-depan-edtech-

Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi 优游国际.com
Network

Copyright 2008 - 2025 优游国际. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke