Bagaimana mekanisme kenaikan jabatan fungsional dilakukan dengan uji kompetensi? Apakah dosen akan kembali mengerjakan ujian seperti yang dulu pernah diterapkan pada uji kompetensi guru?
Jika demikian, maka aturan ini sebenarnya hanya akan mempersulit dosen untuk bisa naik jabatan fungsional.
Lalu bagaimana mekanisme transisinya? Selalu saja ada perubahan aturan, tetapi terkadang tidak mempertimbangkan masa transisinya.
Sungguh apes nasib dosen yang selalu menemui masa transisi atas suatu kebijakan; belum selesai mereka mengurus aturan kenaikan pangkat yang mengacu pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional, tetapi sudah ada peraturan baru.
Urusan birokrasi di Indonesia rumit, utamanya soal kenaikan jabatan karena berkaitan dengan finansial. Ya, karena aturan dibuat untuk menyulitkan, bukan untuk mempermudah.
Seringnya aturan dibuat sebagai respons atas tuntutan sebagian pihak yang mempunyai kepentingan atau yang dekat dengan penguasa. Akibatnya kebijakan yang reaktif semacam itu selalu memunculkan persoalan di belakang.
Ambil contoh aturan kenaikan guru besar yang berawal dari tuntutan kementerian kepada perguruan tinggi untuk dapat mencetak guru besar dalam jumlah banyak supaya dapat meningkatkan akreditasi perguruan tinggi dan mendongkrak reputasi perguruan tinggi untuk masuk dalam jajaran universitas kelas dunia.
Namun, yang terlupakan adalah konsekuensi finansial yang harus ditanggung oleh negara atas pengangkatan ratusan guru besar.
Parahnya lagi, karena ada iming-iming tunjangan fungsional yang besar, banyak yang rela mengeluarkan uang demi dapat memenuhi syarat pengajuan guru besar meskipun pada kenyataannya belum mumpuni.
Banyak sudah berita dan ulasan di media yang mengkonfirmasi praktik kecurangan kenaikan pangkat guru besar.
Belakangan, aturan terbaru menyebutkan bahwa guru besar tidak lagi diusulkan ke pemerintah dalam hal ini Kemendikbud Ristek, tetapi dari perguruan tinggi di mana dosen itu mengajar.
Aturan ini pun tentu tidak lepas dari kekurangan. Bagaimana mekanismenya?
Ketika kenaikan jabatan fungsional dosen tidak lagi melalui penilaian angka kredit, apakah perguruan tinggi dapat serta merta mengangkat guru besar meskipun tanpa ada angka kredit sebagai akumulasi atas kinerja dosen?
Atau jangan-jangan akan masih menggunakan sistem lama, tetapi hanya diubah istilahnya saja?
Persoalan lain adalah sertifikasi dosen juga akan dipercepat karena tidak lagi berdasarkan pada kuota seperti yang saat ini sudah berlaku.