BRASILIA, KOMPAS.com - Melania Amorim masih di awal kariernya sebagai ginekolog dan dokter kandungan, ketika pertama kali menangani kasus kehamilan di kalangan remaja di Brasil.
Pasiennya adalah seorang gadis tunadaksa berusia 13 tahun yang telah diperkosa di halaman belakang rumahnya saat ibunya sedang bekerja di dalam.
Korban telah dibawa ke rumah sakit di barat laut Brasil untuk melakukan aborsi - tetapi tidak ada dokter yang saat itu bertugas, yang bersedia melakukan penghentian kehamilan.
Baca juga: Kasus Virus Corona di Brasil Tembus 3,5 Juta, Kematian di Amerika Latin 250.000
"Ibu gadis itu hanyalah seorang tukang cuci dan meninggalkan anaknya berjemur di luar. Dia hamil setelah diserang," kata dokter Amorim kepada BBC.
"Di rumah sakit, tidak ada yang mau menyentuhnya, mengatakan bahwa mereka menentang aborsi."
"Saya masih sangat muda saat itu, tetapi saya melakukan aborsi. Saya memiliki keyakinan penuh bahwa saya menyelamatkan nyawa anak itu dan bahwa itu adalah haknya sebagai korban pemerkosaan," tambah dokter itu, suaranya tersedak.
Dokter Amorim telah menangani kehamilan anak dan remaja perempuan di Brasil selama lebih dari 30 tahun dan mengkhususkan diri dalam kasus anak perempuan yang hamil setelah diperkosa.
Brasil baru saja diguncang kasus kontroversial ketika seorang anak perempuan berusia 10 tahun melakukan aborsi akibat berulang kali diperkosa oleh pamannya. Kejadian itu terjadi di kota Sao Mateus, di negara bagian selatan Espirito Santo.
Baca juga: Brasil Larang Doctors Without Borders Tangani Covid-19 di Pedalaman
Beragam upaya muncul agar anak tersebut tidak melakukan aborsi seperti menggugat ke pengadilan dan melalui protes oleh kelompok agama - bahkan beberapa aktivis mencoba masuk ke rumah sakit tempat gadis itu dirawat.
Padahal hakim dalam kasus ini sudah mengizinkan anak usia 10 tahun yang telah dianiaya oleh pamannya sejak dia berusia enam tahun itu untuk melakukan aborsi.
Berdasarkan hukum di Brasil, aborsi diizinkan dalam kasus pemerkosaan atau memiliki risiko tinggi yang mengancam nyawa perempuan hamil yang bersangkutan.
Dokter Amorim mengatakan, situasi medis dalam tubuh anak perempuan belum mendukung proses kehamilan - berdasarkan pengalamannya selama puluhan tahun.
Sistem kesehatan masyarakat Brasil, SUS, mencatat rata-rata setidaknya enam aborsi terjadi pada anak perempuan berusia 10-14 tahun setiap hari.
Statistik kekerasan seksual juga mengejutkan: data yang dikumpulkan oleh LSM Brazil Public Safety Forum menunjukkan bahwa empat anak perempuan di bawah 13 tahun diperkosa setiap jam di negara itu.
Baca juga: Ngotot Amazon Tidak Kebakaran, Wapres Brasil Tantang Leonardo DiCaprio Masuk Hutan
"Mereka tiba di rumah sakit, bingung dan ketakutan dengan semua peristiwa traumatis yang mereka alami," jelas dokter Amorim.
Kehamilan pada usia tersebut dianggap sangat berisiko. Sebuah studi UNICEF menemukan bahwa anak perempuan yang melahirkan sebelum usia 15 tahun memiliki kemungkinan lima kali lebih besar untuk meninggal saat melahirkan daripada wanita di usia 20-an.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Obstetrics and Gynecology yang dilakukan terhadap perempuan hamil muda di Amerika Latin, menemukan bahwa anak perempuan berusia 15 tahun atau lebih muda lebih mungkin untuk mengembangkan anemia parah dan menghadapi risiko perdarahan postpartum yang lebih besar.
Kemungkinan kematian pre-natal dini, atau kematian bayi di hari pertama kehidupan, juga lebih besar terjadi.
Melania Amorim menunjukkan bahwa kehamilan di kalangan perempuan muda yang berusia 10 hingga 15 tahun memiliki risiko tinggi terjadinya pre-eklamsia dan eklamsia - kondisi yang menyebabkan tekanan darah tinggi dan bahkan dapat menyebabkan koma.
"Bayi dari anak perempuan ini mungkin tidak bertambah berat badannya. Ada hambatan pertumbuhan (karena struktur tubuh anak perempuan) dan, oleh karena itu, banyak yang lahir prematur," kata dokter tersebut.
Kehamilan pada anak perempuan berusia 13 tahun ke bawah memiliki risiko lebih besar karena tubuh mereka masih berkembang.
"Tubuh dan organ dalamnya belum berkembang. Mereka, misalnya, tidak memiliki panggul yang terbentuk sempurna dan ini mencegah perkembangan persalinan," jelasnya.
Baca juga: Kasus Covid-19 Brasil di Bawah Kementerian Kesehatan Tanpa Pengetahuan Medis
Dr Amorim, yang juga profesor di Universitas Federal Campina Grande mengatakan, aborsi legal jauh lebih aman bagi gadis-gadis ini daripada melahirkan.
"Melahirkan membawa risiko bagi wanita mana pun, pada tahap apa pun. Apalagi untuk mereka yang masih anak-anak, itu bahkan lebih berbahaya," katanya.
"Aborsi dalam kasus hukum, dengan pengawasan medis, jauh lebih aman daripada gadis-gadis ini melahirkan."
"Hal terburuk adalah aborsi yang tidak aman, yang harus dilakukan oleh perempuan itu dalam persembunyian," katanya.
Dokter Amorim juga mengatakan penelitian di negara-negara yang masih memperbolehkan pernikahan anak menunjukkan bahwa kasus anak perempuan dengan cedera internal antara kandung kemih dan vagina sering terjadi.
"Mereka hamil dan melahirkan tanpa bantuan atau dengan bantuan tanpa akses ke operasi caesar. Bayi itu akan merobek segalanya."
Baca juga: Sayap Ayam Beku Impor dari Brasil Terlacak Positif Virus Corona di China
Sebagai seorang ginekolog, ia telah mendampingi korban dari usia 6 bulan hingga 92 tahun.
"Tidak ada batas usia yang melindungi kami dari pemerkosaan. Kami perempuan tidak dilindungi dalam kelompok usia mana pun," keluhnya.
"Ketika seorang wanita masih sangat muda, dia tidak hamil. Tetapi banyak kasus pelecehan dimulai pada tahap ini dan berlanjut hingga periode ketika gadis itu mulai berovulasi dan, sayangnya, mengakibatkan kehamilan," tambah Amorim.
"Korban berhak melakukan aborsi"
Tidak semua kasus kehamilan berakhir dengan aborsi. Dokter itu mengatakan bahwa beberapa anak muda korban pemerkosaan tiba di rumah sakit sesaat sebelum anak mereka lahir.
"Banyak gadis tidak sadar bahwa mereka berhak melakukan aborsi berdasarkan hukum."
Amorim melihat, saat ia masih berusia 17 tahun dan belajar kedokteran, bagaimana seorang anak perempuan hamil harus meninggal dunia.
"Dia masih berusia 13 tahun dan meninggal karena aborsi rahasia. Dan yang menyedihkan adalah sebenarnya dia berhak mendapatkan aborsi legal," katanya.
Baca juga: Presiden Brasil Sebut Laporan Kebakaran Hutan Amazon Adalah Kebohongan
"Dan dari semua kasus yang saya tangani, tidak ada dari mereka yang meninggal. Tapi risiko kematian pada kasus eklamsia tinggi."
Tetapi, Dr Amorim meyakini bahwa kasus di Sao Mateus berbeda dengan kasus lain dalam sepanjang karirnya, terutama karena terungkapnya nama korban dan rumah sakit tempat anak tersebut melakukan aborsi.
"Aborsi dijamin oleh undang-undang dan harus ada penghormatan terhadap kerahasiaan," tandasnya.
"Pengungkapan ini perlu diselidiki. Ini adalah situasi yang sangat serius. Bagaimana orang itu mendapatkan data yang rahasia dan membocorkan informasi anak perempuan itu?"
Berita kasus tersebut viral dan memunculkan perdebatan nasional yang bahkan melibatkan menteri-menteri di pemerintah.
Kontroversi semakin meningkat setelah dokter di rumah sakit umum, di ibu kota negara bagian Vitoria, menolak melakukan aborsi pada 14 Agustus, meskipun ada perintah yudisial, dengan alasan bahwa usia kehamilan melebihi batas 22 minggu yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan Brasil.
Baca juga: Kematian akibat Covid-19 di Brasil Tembus 100.000, Para Ahli Putus Asa
Rumah sakit Vitoria mengatakan bahwa penolakan melakukan aborsi dilakukan "atas dasar pertimbangan teknis dan tidak terkait ideologis".
Gadis itu akhirnya melakukan aborsi di Recife, sebuah kota yang berjarak 1.650 km, tiga hari kemudian.
"Setiap rumah sakit yang menangani perempuan hamil memiliki kewajiban untuk melakukan aborsi legal. Mereka menunggu izin yudisial di Espirito Santo dan ketika izin itu tiba, mereka mengklaim bahwa kehamilannya sudah lanjut," kata dokter Amorim.
Gadis itu dilaporkan "baik-baik saja". Pamannya ditangkap pada 18 Agustus setelah melarikan diri ke negara bagian tetangga.
Dokter Amorim mengatakan bahwa penting untuk gadis itu, seperti semua korban pelecehan seksual lainnya, menerima perawatan psikologis.
"Pemerkosaan meninggalkan bekas selamanya. Gadis-gadis ini tiba di rumah sakit dengan trauma. Mereka adalah anak-anak, bukan ibu," katanya.
"Mereka tidak menginginkan buah kekerasan di dalam rahim mereka."
"Jika mereka menerima semua dukungan, maka mereka punya masa depan dan martabat mereka dapat dipulihkan."
Meski telah puluhan tahun menyaksikan kenyataan yang mengejutkan, Melania Amorim tidak kehilangan rasa kesal dengan setiap kasus baru yang ia hadapi.
"Anda akan berpikir bahwa setelah bertahun-tahun di lapangan, kami akan terbiasa."
"Tapi dengan kasus di Espirito Santo ini, kemarahan bukan hanya tentang pemerkosaan dan kehamilan."
"Gadis itu diperkosa selama bertahun-tahun dan mengalami kekerasan baru oleh masyarakat yang mencoba mencabut hak hukumnya untuk melakukan aborsi," kata dokter itu.
Baca juga: Presiden Brasil Sebut Ada Jamur di Paru-parunya Pasca Pemulihan akibat Covid-19
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.