Penulis: DW Indonesia
LONDON, KOMPAS.com - Sosok Ratu Elizabeth II telah menjadi tali yang mempersatukan Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara.
Meninggalnya Ratu Elizabeth II memberikan momentum baru bagi Skotlandia untuk mendorong referendum dan pemisahan diri dari pengaruh Buckingham.
Namun, kepergian Elizabeth II di Skotlandia menghadirkan nuansa tersendiri. Sejarawan Skotlandia, Tom Devine, menyebut momen ini sebagai sebuah "kebetulan luar biasa" sang Ratu meninggal di Skotlandia. Ia menyebut "adalah mungkin bagi dunia untuk melihat hubungan antara ratu dan negara ini."
Baca juga:
Sejauh ini hanya ada protes kecil oleh demonstran anti-monarki. Connor Beaton, seorang pria berusia 26 tahun yang mengenakan t-shirt dengan tulisan "Skotlandia versi lain memungkinkan" menyebut kepergian Elizabeth II sebagai momentum bagi Skotandia.
Pengunjuk rasa lain mengangkat spanduk bertuliskan: "Republik Sekarang", dan "Republik Kami untuk Masa Depan Demokratis". Selain itu, polisi menangkap seorang perempuan setelah dia mengangkat tulisan tangan bertuliskan: "Persetan Imperialisme. Hapuskan monarki".
Raja Charles III telah bergerak cepat untuk menekankan bahwa ia akan menjadi raja untuk seluruh Inggris. Ia melakukan tur nasional selama hari-hari pertamanya bertakhta. Dia berada di Skotlandia pada Senin (12/9/2022) dan berencana untuk mengunjungi Irlandia Utara dan Wales akhir minggu ini, menghadiri upacara peringatan di Belfast dan Cardiff.
Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara semuanya adalah bagian dari Britania Raya tetapi memiliki sejarah yang berbeda dan ikatan yang kompleks dengan Inggris, yang mendominasi Inggris baik dalam populasi maupun politik.
Di sisi lain, beberapa kelompok nasionalis dari Wales menolak pemberian gelar "Prince of Wales” kepada William sebagai suksesor selanjutnya. Gelar "Prince of Wales” sendiri pertama kali muncul pada abad ke-14 setelah penaklukan Wales oleh Inggris.
Sementara di Irlandia Utara, perpecahan di tengah masyarakat yang menilai diri mereka sebagai bangsa Inggris dan bangsa Irlandia telah memicu konflik panjang selama puluhan tahun.
Baca juga:
Bukan hanya di internal Britania Raya, dorongan untuk referendum dan menjadi republik juga muncul di Australia. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dikenal sebagai salah satu tokoh yang mendukung persemakmuran Inggris itu untuk menjadi republik.
Ia juga telah menunjuk jabatan baru yakni Asisten Menteri Untuk Republik. Meski Albanese menyebut saat ini bukan waktu yang tepat untuk sebuah opsi referendum.
Menanggapi dorongan untuk referendum, sejumlah anggota parlemen di negara bagian Australia berjanji akan setia kepada Raja Charles III pada Selasa (13/9/2022). Para politisi menggarisbawahi kuatnya hubungan konstitusi antara negara itu dengan monarki.
Profesor Hukum Universitas Adelaide, Greg Taylor, mengatakan potensi negara bagian untuk menolak mengakhiri hubungan mereka dengan raja bukanlah alasan bagi Australia untuk tidak mengadakan referendum kedua untuk menjadi republik.