PARIS, KOMPAS.com - Sekitar 40 tahun telah berlalu, tapi Penny Lee Dean masih ingat betul dinginnya hari itu.
Latihannya sangat berat, sebab Dean tengah bersiap untuk memecahkan rekor renang menyeberangi Selat Inggris pada 1978.
"Tangan saya kram, kaki saya kram," kenang perempuan itu.
Baca juga: Olimpiade Berlin 1936, Ajang Propaganda Nazi agar Terlihat Baik
Setelah keluar dari latihan renang di perairan terbuka, butuh waktu berjam-jam baginya untuk mulai merasa hangat lagi. Mandi air panas selama 20 menit tidaklah cukup.
Begitu pula berendam di satu bak air panas; ketika satu bak air menjadi dingin, dia akan pindah ke bak air panas lainnya sembari memeluk secangkir teh.
Meskipun dinginnya menusuk tulang, menaklukkan udara beku sangat penting untuk keberhasilannya sebagai perenang jika ingin memecahkan rekor.
Kemampuan untuk menahan dingin yang ekstrem merupakan salah satu keuntungan yang mungkin dimiliki perempuan dalam olahraga ini karena distribusi lemak perempuan membantu mengatur suhu tubuh di air dingin.
Dean meyakini perempuan juga memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap ketidaknyamanan.
Faktanya, perempuan bisa mengungguli atau mempunyai performa yang sama dengan laki-laki dalam berbagai ajang kompetisi, mulai dari menembak hingga lari ultra.
Akan tetapi, jalan menuju inklusivitas yang lebih besar tidaklah mudah dan masih banyak pertanyaan daripada jawaban tentang peran jenis kelamin dalam performa atletik.
Baca juga: Gagal Raih Emas Olimpiade Paris secara Kontroversial, Petembak Inggris Angkat Bicara
Oyvind Sandbakk merupakan profesor ilmu olahraga di UiT The Arctic University of Norway dan direktur Norwegian School of Elite Sports (NTG).
Dia bersama rekan-rekannya menemukan kesenjangan rata-rata prestasi antara atlet perempuan dan laki-laki sekitar 8-12 persen perbedaannya.
Kesenjangan ini bisa lebih kecil untuk renang yang memerlukan ketahanan ekstrem dan lebih besar untuk olahraga yang melibatkan kekuatan tubuh bagian atas, sebut penelitian tersebut.
Para atlet juga dibatasi oleh bias gender. Beberapa olahraga dengan elemen "estetika" distereotipekan sebagai feminin.
Sementara seni bela diri seperti tinju oleh kalangan masyarakat tertentu, dianggap kurang bisa diterima oleh perempuan.
Buktinya, tidak ada laki-laki yang berpartisipasi dalam cabang olahraga renang artistik di Olimpiade Paris.
Ini termasuk akses yang setara terhadap olahraga dan hal tersebut sangatlah penting.
Namun, dalam ajang "jarak jauh" seperti maraton yang terukur dalam hal kecepatan bisa menjadi keuntungan tersendiri.
"Perempuan umumnya menjadi pelari yang lebih baik, misalnya pada pelari maraton," kata Sandbakk.
Dan daya saing bukan hanya masalah fisiologi, tetapi juga kondisi sosial serta psikologi.
Sementara, sebagian besar penelitian berfokus pada kecakapan atletik anak-anak—padahal ada indikasi bahwa lingkungan sosial di sekitar anak perempuan dapat memengaruhi daya saing mereka dibandingkan dengan anak laki-laki.
Tentu saja, jika bersandar pada konsensus ilmiah yang dikeluarkan pada 2023 oleh American College of Sports Medecine, perbedaan performa atletik antara anak perempuan dan laki-laki terjadi "minimal" sebelum pubertas, yang kemudian menyebabkan kesenjangan semakin besar di antara mereka.
Tapi perlu dicatat, data tentang performa sebelum pubertas justru saling bertentangan. Beberapa penelitian misalnya menunjukkan anak laki-laki memang memiliki keunggulan atletik dalam olahraga lari.
Adapun kadar hormon testoteron umumnya dikaitkan dengan ukuran dan kekuatan otot, begitu juga dengan konsentrasi hemoglobin yang lebih tinggi dan penyerapan oksigen yang lebih baik.
Kombinasi itu juga dikaitkan dengan daya saing yang lebih tinggi pada laki-laki. Dalam hal daya saing, kadar hormon testoteron memengaruhi kecenderungan pria untuk mengambil lebih banyak risiko, baik di dalam maupun di luar urusan olahraga.
Ada pula penelitian terbatas tentang bagaimana hormon testoteron memengaruhi perempuan (atau bagaimana hormon estrogen memengaruhi pria).