KOMPAS.com - Kue keranjang selalu hadir dalam perayaan Tahun Baru Imlek, baik dinikmati sendiri maupun sebagai dibagi-bagikan kepada tetangga, teman, serta saudara.
Kue keranjang yang terbuat dari tepung beras ketan memiliki cita rasa khas, manis dengan tekstur kenyal serta lengket.
Nama “keranjang” disematkan karena proses pembuatannya dicetak dalam wadah yang berbentuk keranjang.
Kue yang berwarna coklat tersebut memiliki sebutan lain, yaitu kue manis atau dodol China maupun kue bakul.
Berikut ini adalah sejarah dan filosofi kue keranjang Imlek.
Kue Keranjang Imlek
Sejarah Kue Keranjang Imlek
Dilansir 优游国际.com (09/02/2024), kue keranjang, atau yang dalam bahasa Mandarin disebut nian gao, memiliki akar sejarah yang panjang dan kaya.
Pada awalnya, kue ini bukan sekadar kudapan, melainkan bagian dari persembahan dalam ritual upacara adat.
Seiring waktu, kue keranjang menjadi makanan khas yang identik dengan perayaan Festival Musim Semi atau Tahun Baru Imlek.
Sejarah mencatat bahwa kue keranjang berasal dari daerah Suzhou, Tiongkok, dan keberadaannya telah tercatat sejak sekitar 2.500 tahun yang lalu.
Saat itu, Tiongkok belum bersatu seperti sekarang dan terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang sering terlibat peperangan.
Salah satu kerajaan tersebut adalah Kerajaan Wu, dengan ibukotanya yang terletak di Suzhou. Kota ini dilindungi oleh benteng kokoh untuk menangkal serangan musuh.
Namun, meskipun tembok tersebut memberikan rasa aman bagi penduduk, seorang tokoh penting dalam sejarah Kerajaan Wu, Perdana Menteri Wu Zixu, tetap mengingatkan akan bahaya yang mengintai.
Dalam satu kesempatan, ia berkata kepada para pengawalnya, “Perang tidak bisa dianggap remeh. Tembok yang kokoh memang melindungi kita. Namun, bila musuh mengepung kerajaan kita, tembok juga menjadi penghalang untuk melarikan diri atau mencari makanan. Apabila kelak sesuatu yang buruk terjadi, ingatlah untuk menggali lubang di bawah tembok itu.”
Perkataan Wu Zixu baru terbukti bertahun-tahun kemudian, setelah ia meninggal dunia. Ketika ibu kota Kerajaan Wu dikepung oleh musuh, pasokan makanan terputus, dan banyak penduduk mulai kelaparan.
Dalam situasi genting itu, para pengawal kerajaan teringat pesan Wu Zixu. Mereka segera menggali tanah di bawah tembok benteng seperti yang disarankan.
Betapa terkejutnya mereka ketika menemukan bahwa bagian bawah tembok benteng ternyata terbuat dari bata yang dibuat dari campuran tepung ketan dan gula.
Bata-bata tersebut, yang kemudian dimakan oleh penduduk, menjadi penyelamat nyawa di tengah kepungan musuh.
Makanan darurat inilah yang diyakini sebagai asal usul kue keranjang atau nian gao. Untuk mengenang jasa Wu Zixu, masyarakat mulai membuat kue serupa setiap tahun, terutama pada saat Tahun Baru Imlek.
Lambat laun, kue ini tidak lagi hanya menjadi simbol sejarah, tetapi juga bagian dari tradisi budaya Tionghoa.
Hingga kini, kue keranjang tetap menjadi elemen penting dalam perayaan Tahun Baru Imlek, melambangkan kemakmuran dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Filosofi Kue Keranjang Imlek
Kue keranjang, dengan rasa manis dan tekstur kenyal serta lengket, menyimpan filosofi mendalam yang menjadi bagian penting dari tradisi masyarakat Tionghoa.
Lebih dari sekadar makanan, kue ini mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang universal dan relevan bagi siapa saja.
"Kue keranjang ini kan dibuat dari gula, ketan, dan juga air. Jadi, dalam kue keranjang itu memiliki filosofi yang begitu erat dalam kehidupan kita," kata pemilik usaha kue keranjang Hoki, Kim Hin Jauhari, yang telah melakoni usahanya sejak tahun 1988, saat ditemui di Sawangan, Depok, Jawa Barat, dilansir dari Antaranews (10/10/2024).
Rasa manis yang berasal dari gula melambangkan harapan akan berbagai hal positif di tahun yang baru.
Filosofi ini mencerminkan keinginan untuk mendapatkan rejeki, hubungan yang harmonis, serta kebahagiaan bersama anggota keluarga dan sesama. Kim Hin menambahkan bahwa kehadiran rasa manis ini adalah simbol optimisme yang perlu dipertahankan setiap tahun.
Sementara itu, tekstur kenyal dan lengket dari kue keranjang mengandung makna filosofis tentang pentingnya hubungan yang erat dan saling terhubung.
Masyarakat Tionghoa percaya bahwa tekstur ini mencerminkan solidaritas dan kebersamaan di antara anggota keluarga, sanak saudara, dan kerabat.
Filosofi ini mengajarkan bahwa hidup adalah tentang menjalin hubungan yang kuat dengan orang-orang di sekitar kita.
Dimensi kue yang bulat juga memiliki makna simbolis yang tak kalah penting. Bentuknya melambangkan keutuhan dan kesempurnaan dalam hubungan antar sesama.
Kue ini seolah menjadi pengingat bahwa persatuan dan kerja sama, tanpa mendahulukan ego masing-masing, adalah kunci untuk menciptakan keharmonisan di dalam keluarga maupun masyarakat.
Melalui elemen-elemen ini, kue keranjang menjadi lebih dari sekadar hidangan khas perayaan Imlek. Ia adalah medium yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan: kebahagiaan, kehangatan keluarga, solidaritas, dan kerja sama. Filosofi ini terus diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikan kue keranjang sebagai simbol budaya yang penuh makna dan inspirasi.
Sumber:
Sebagain artikel ini telah tayang di 优游国际.com dengan judul "Sejarah dan Resep Olahan Kue Keranjang, Makanan Khas Perayaan Imlek", Klik untuk baca:
www.antaranews.com
/jawa-timur/read/2025/01/23/072043888/sejarah-dan-filosofi-kue-keranjang-imlek