WILAYAH terumbu karang Indonesia merupakan pusat biodiversitas biota laut dunia. Indonesia memiliki lebih dari 500 spesies karang keras, khususnya di kawasan timur Segitiga Terumbu Karang dan menjadi habitat dari berbagai biota laut tropis yang menyediakan jasa ekosistem yang berperan sangat ekologis bagi kehidupan laut dan perekonomian masyarakat.
Namun, perubahan lingkungan yang terjadi diduga telah menyebabkan penurunan daya dukung optimal kehidupan terumbu karang, terlebih di masa mendatang. Perubahan lingkungan pada masa mendatang yang kerap didiskusikan adalah iklim.
Baca juga: Terumbu Karang sebagai Kekayaan Indonesia
Perubahan iklim kerap dipaparkan sebagai ancaman global bagi terumbu karang di masa mendatang, dengan adanya hubungan antara penambahan kadar emisi gas rumah kaca dan suhu laut. Dua hal itu menyebabkan kenaikan frekuensi pemutihan massal terumbu karang.
Peningkatan larutan senyawa gas rumah kaca di air laut juga akan menyebabkan penurunan pH air yang berdampak pada terganggunya proses pembentukan terumbu oleh hewan karang. Perubahan lain yang terkait dengan iklim global, misalnya kenaikan permukaan laut atau frekuensi badai, akan secara akumulatif berdampak pada lingkungan optimal terumbu karang.
Selain itu, polusi perairan di pesisir dapat menyebabkan penurunan daya lingkungan untuk mendukung kehidupan terumbu karang yang optimal. Air limbah rumah tangga dan industri, aktivitas pelabuhan dan kapal, penangkapan ikan yang merusak, sedimentasi, dan penambangan karang merupakan masalah yang mengancam kelestarian terumbu karang Indonesia.
Akumulasi kedua jenis tekanan lingkungan itu, yaitu perubahan iklim dan peningkatan polusi perairan pesisir, akan berdampak besar terhadap terumbu karang.
Studi terbaru menunjukkan, respons terumbu karang terhadap tantangan lingkungan di masa depan dapat bervariasi. Ketahanan biota-biota karang keras dapat tergantung pada banyak faktor seperti ekologi, evolusi, dan lokasi geografis, sehingga membuat banyak variasi tingkat keberlangsungan hidupnya.
Pada prediksi ke depan dari banyaknya variasi tersebut, permodelan ekologi dapat dijadikan sebagai basis untuk rekonstruksi secara umum pola sebaran lingkungan yang optimal untuk mendukung kehidupan terumbu karang Indonesia. Permodelan dengan komputasi ekologi, misalnya dengan pendekatan algoritma learning machine maximum entrophy (MaxEnt).
Pendekatan komputasi permodelan itu dapat berfungsi sebagai prediktor untuk pemetaan wilayah habitat yang optimal untuk suatu organisme, berbasis pada parameter lingkungan tempat ditemukannya saat ini.
Model prediktif algoritma tersebut terhadap terumbu karang Indonesia, dengan menggunakan spesies Acropora spp. sebagai subyek, dan parameter lingkungan pada berbagai skenario tingkat emisi gas rumah kaca (Representative Concentration Pathway/RCP 8.5, 6.0, dan 2.6) serta variabel perairan yang kerap dijadikan indikator pencemaran pesisir (klorofil, salinitas, DO, pH, dan lainnya), menunjukkan bahwa areal yang mendukung kehidupan terumbu karang optimal akan menurun lebih dari 50 persen di tahun 2050.
Baca juga: 4 Ekosistem Laut: Lautan, Pantai, Estauri, dan Terumbu Karang
Proyeksi penurunan yang tinggi (lebih dari 80 persen) terjadi pada skenario RCP 8.5 yang mengasumsikan kenaikan suhu sebesar 3,7 derajat C di tahun 2080-2100. Sementara proyeksi terbaik (maksimal 50 persen) terjadi untuk skenario RCP 2.6 yang menduga kenaikan suhu sebesar 1 derajat C di tahun 2081-2100.
Telaah lebih lanjut dari model pemetaan tersebut memperlihatkan bahwa kadar klorofil menjadi faktor terbesar, 57,5 persen, dibandingkan dengan temperatur yang hanya sebesar 6,1 persen untuk menentukan wilayah perairan yang optimal dari terumbu karang di tahun 2050.
Variasi kadar klorofil di areal pesisir, kerap terkait dengan erosi, sedimentasi, limpasan nutrien akibat limbah air dari permukiman domestik, lahan pertanian, dan lainnya, dari wilayah daratan. Karena itu, kenaikan klorofil kerap dijadikan sebagai indikator tidak langsung dari kadar nutrien dan tekanan aktivitas manusia di daratan.
Sisi wilayah barat Indonesia, yang secara umum memiliki tekanan aktivitas manusia lebih tinggi dibandingkan sisi timur, akan mengalami kehilangan kondisi lingkungan optimal untuk terumbu karang yang tinggi di masa mendatang.
Baca juga: 6 Dampak Perubahan Iklim pada Terumbu Karang
Dampak dari peningkatan nutrien di pesisir, atau yang kerap dinamakan sebagai eutrofikasi, adalah peningkatan bioerosi yang akan menggantikan komunitas karang dengan biota lainnya, seperti alga, lamun, dan lainnya.
Pergeseran pola komunitas pesisir itu telah terjadi sehingga menyebabkan penurunan luasan terumbu karang di berbagai wilayah. Pengamatan di berbagai lokasi terumbu karang di Indonesia telah menunjukkan bahwa kadar nutrien yang tinggi kerap menjadi wilayah pesisir dengan terumbu karang yang mati, patah, ataupun tertutup oleh tumbuhan alga.
Karena itu, prediksi permodelan memperlihatkan bahwa pencemaran di pesisir dapat menjadi faktor yang jauh lebih signifikan dibandingkan dengan faktor perubahan iklim dalam menurunkan daya dukung lingkungan perairan untuk kehidupan terumbu karang di masa mendatang.
Prioritas konservasi saat ini perlu difokuskan untuk menjaga kesehatan perairan pesisir, dengan penurunan limpasan limbah dari wilayah daratan, agar dapat meningkatkan ketahanan ekosistem terumbu karang untuk menghadapi tantangan perubahan iklim mendatang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.