优游国际

Baca berita tanpa iklan.
Salin Artikel

Marco Kartodikromo: Peran dan Kiprahnya

Selama bekerja sebagai jurnalis, Marco aktif menulis kritikan terhadap pemerintahan. Selain itu, ia juga menulis beberapa potongan untuk novel fiksi. 

Karena tulisan kritiknya tersebut, beberapa buku yang Marco Kartodikromo ciptakan dilarang untuk terbit oleh Belanda. 

Kemudian, tahun 1926, Marco Kartodikromo sempat terlibat dalam pemberontakan yang dilancarkan Partai Komunis Indonesia.

Karena gagal, ia akhirnya ditangkap dan dipenjara di kamp Boven-Digoel di Papua. Marco kemudian meninggal di kamp tersebut karena penyakit malaria tahun 1932.

Awal Kehidupan

Marco Kartodikromo lahir di Blora, 1890. Lahir dari golongan keluarga priyayi berpangkat rendah, ayahnya hanya bekerja sebagai kepala desa. 

Oleh sebab itu, Marco tidak menjalani pendidikan formal terlalu lama karena ia harus mengambil kursus privat bahasa Belanda.

Sewaktu berusia 15 tahun, Marco sudah mulai bekerja di Nederlandsch Indische Spoorweg, perusahaan kereta api nasional Hindia Belanda di Semarang.

Namun, tahun 1911, ia memilih untuk meninggalkan perusahaan tersebut karena merasa tidak nyaman dengan kebijakan rasis yang ada di sana. 

Marco Kartodikromo kemudian pergi ke Bandung dan bekerja di Medan Prijaji, surat kabar yang dikelola Tirto Adho Soerjo selama satu tahun.

Di tempat ini, ia diajari Tirto bekerja sebagai seorang wartawan. 

Akan tetapi, tahun 1912, surat kabar tersebut ditutup oleh Belanda. Marco lantas pergi ke Surakarta. 

Kiprah

Di Surakarta, Marco Kartodikromo bergabung dengan Sarekat Islam, organisasi pedagang Muslim.

Tidak berhenti di situ, tahun 1914, Marco berkesempatan untuk memimpin majalan Doenia Bergerak.

Sementara bekerja di Doenia Bergerak, Marco Kartodikromo juga menulis serangan terhadap penasihat Belanda RA Rinkes. 

Ia menulis bahwa Belanda hanya mencintai diri mereka sendiri jauh lebih banyak dibanding penduduk asli yang mereka kuasai. 

Karena perbuatannya, Marco Kartodikromo ditangkap dan dihukum sembilan bulan di penjara Mlaten. 

Namun, karena aksi pemberontakan dari masyarakat, Marco kemudian dibebaskan setelah 100 hari mendekam di penjara. 

Setelah bebas pada 21 Februari 1918, ia pindah ke Semarang dan menjadi komisaris Sarekat Islam bersama Semaun. 

Selain itu, ia juga bergabung dengan surat kabar Sinar Djawa. 

Masih di tahun yang sama, diselenggarakan sebuah konferensi, di mana dalam konferensi tersebut Marco menyebutkan bahwa ada dua jenis pers di Indonesia. 

Pers hitam yang berjuang melawan imperialis Belanda dan pers putih yang bekerja untuk menaklukkan rakyat Indonesia.

Selama kiprahnya sebagai seorang jurnalis, Marco Kartodikromo memang kerap menuliskan kritikan-kritikan terhadap Belanda. 

Karena kritiknya tersebut, beberapa buku ciptaan Marco Kartodikromo tidak diizinkan oleh Belanda untuk diedarkan. 

Bukan main-main, kritik yang ditulis Marco Kartodikromo dianggap dapat memicu kerusuhan penduduk asli. 

Marco Kartodikromo sendiri menikmati untuk memancing pemerintah kolonial dengan mengundang para pembacanya untuk sama-sama mengkritik Belanda. 

Saat itu, Belanda dianggap plin-plan dan tidak bertanggung jawab. 

Akhir Hidup

Pada 1926, Marco Kartodikromo sempat terlibat dalam Partai Komunis Indonesia. Ia dipercaya untuk memimpin salah satu pemberontakan yang dilancarkan PKI. 

Namun, dalam pemberontakan ini, Marco mengalami kegagalan. Ia akhirnya ditangkap dan dipenjara di kamp Boven-Digoel di Papua. 

Marco kemudian meninggal di kamp tersebut karena penyakit malaria tahun 1932. 

Referensi: 

  • Soebagijo, I.N. (1981). Jagat Wartawan Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

/stori/read/2021/08/17/130000079/marco-kartodikromo-peran-dan-kiprahnya

Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi 优游国际.com
Network

Copyright 2008 - 2025 优游国际. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke