Tamat dari sekolah itu, Gus Dur melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, yang dipimpin KH Chaudhary.
Dua tahun berselang, ia kembali ke Jombang dan menetap di Pesantren Tambak Beras hingga berusia 20 tahun.
Di usia 22 tahun, Gus Dur berangkat menuju ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuju Mesir guna melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar.
Baca juga: Sejarah Universitas Al-Azhar Mesir
Namun, sesampainya di Mesir, Gus Dur tidak langsung berkuliah di sana, melainkan masuk ke Madrasah Aliyah lebih dulu.
Setelah menyelesaikan sekolahnya di Mesir, Gus Dur berkunjung ke universitas-universitas lain.
Akhirnya, Gus Dur memutuskan tinggal di Belanda selama enam bulan, sekaligus membentuk suatu perkumpulan bernama Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia.
Pada 1971, Gus Dur kembali ke Indonesia. Selama masa pemerintahan Orde Baru, ia disibukkan dengan berbagai kegiatan.
Ia memulai karier dengan mengembangkan pendidikan di pesantren dan menjadi seorang jurnalis.
Pada 1980-an, Gus Dur terjun ke dunia politik, sebelum akhirnya memilih berhenti dan fokus berkegiatan di Nahdlatul Ulama (NU).
Baca juga: Tokoh-tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama
Di NU, Gus Dur berperan dalam mereformasi dan menghidupkan organisasi ini, yang tadinya dianggap stagnan.
Pada 1984, ia pun terpilih menjadi Ketua NU. Jabatan ini kembali ia pegang setelah memenangkan suara dalam Musyawarah Nasional 1989.
Pada masa jabatan yang kedua inilah, Gus Dur sempat berselisih dengan rezim Soeharto.
Akibatnya, Gus Dur sempat dijegal oleh rezim Orde Baru dalam pemilihan Ketua NU pada 1994.
Kendati demikian, ia tetap terpilih kembali sebagai Ketua NU untuk ketiga kalinya.
Setelah Soeharto tidak lagi menjabat sebagai presiden RI, banyak partai politik (parpol) baru yang terbentuk.