PADA Maret 2018, Prabowo Subianto menjadi trending karena menyitir isi novel "Ghost Fleet" karangan dua ahli strategi dari Amerika PW Singer dan August Cole.
Beliau mengatakan, “Ghost Fleet ini novel, tapi ditulis dua ahli strategi dari Amerika, menggambarkan sebuah skenario perang antara China dan Amerika tahun 2030. Yang menarik dari sini bagi kita hanya satu, mereka ramalkan tahun 2030, Republik Indonesia sudah tidak ada lagi." (Detik.com, 21 Maret 2018).
Presiden terpilih tersebut menyitir novel tersebut karena merasa khawatir dan bertanggung jawab dengan eksistensi bangsa Indonesia serta mengingatkan kembali pentingnya nasionalisme yang dirasakan semakin terdegradasi terutama di sebagian para pengelola negara.
Yang menarik adalah Prabowo dalam berbagai pernyataannya selalu merujuk pada referensi buku-buku yang telah dibacanya, sehingga mengingatkan saya kepada Bung Karno.
Kedua tokoh ini memiliki tradisi literasi kuat sebagai landasan pengambilan keputusan dalam program-program kenegaraannya.
Banyak sekali kesaksian dari berbagai kalangan yang membuktikan bahwa beliau adalah kutu buku. Misalnya, yang paling hangat adalah kesaksian dari Amien Rais, "Pak Prabowo itu orang pintar. Kutu buku dia." (CNN, 25 Juni 2024)
Di channel YouTube, saya melihat video Prabowo yang berbicara tentang buku di perpustakaan pribadinya yang megah dan tertata rapi. Terlihat sekali beliau sangat memuliakan buku.
Dalam tayangan tersebut, selain menyebut beberapa judul biografi beserta pengarangnya, beliau juga menujukkan novel yang memengaruhi pikirannya, yaitu "The Warrior of the Light" karya sastrawan Brazil Paulo Coelho.
Prabowo juga menjelaskan bahwa beliau berasal dari keluarga intelektual pejuang. Siapa yang tidak mengenal ayahanda beliau, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, yang merupakan seorang ekonom dan politikus Indonesia paling terkemuka pada masanya.
Sebagai pustakawan dan pegiat literasi tentu saja saya merasa bangga memiliki presiden yang kutu buku, karena pasti merasakan sendiri manfaatnya untuk meningkatkan kualitas hidup.
Pandangannya tentang arti buku bisa diterjemahkan kedalam program-program pembangunan yang akan datang dan saya berharap semoga pembangunan literasi menjadi salah satu program prioritasnya.
Terlalu sering kita mendengar dan membaca kekhawatiran para pejabat pusat atau daerah tentang rendahnya budaya literasi bangsa. Namun mayoritas hanya basa-basi saja, karena tidak terlihat keberpihakanya dalam program pembangun di daerahnya masing-masing.
Hanya sekadar seremonial, tidak substantif. Bunda literasi dibentuk sampai tingkat kelurahan, padahal di antara mereka sendiri banyak yang tidak memiliki kebiasaan membaca, hanya sekadar identitas saja.
Walau Prabowo seorang militer, tetapi untuk membangun budaya literasi tidak bisa dilakukan secara militeristik. Paling mendasar adalah menumbuhkan kesadaran.
Kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya membaca buku dilakukan secara massif dan simultan kepada seluruh lapisan masyarakat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.