Meski sebagian besar karyanya hancur selama kerusuhan pada tahun 1857, puisinya tetap hidup dan dikompilasi ke dalam Kulliyyat-i Zafar.
Istananya merupakan rumah bagi para penyair dan sastrawan, karena kondisinya saat itu, Bahadur Shah Zafar tidak lagi memiliki ambisi di dunia politik.
Lahir dari orang tua beragama Islam dan Hindu, Bahadur Shah Zafar menempatkan dirinya sebagai pejuang kerukunan antarumat beragama.
Baca juga: Raja-raja Kesultanan Mughal
Pada 1857, kebencian terhadap Inggris membangkitkan pemberontakan dari kalangan tentara India.
Pemberontakan menyebar di beberapa kota, seperti Meerut, Agra, Lucknow, Kanpur, dan Delhi.
Ribuan pemberontak yang berasal dari kalangan umat Hindu dan Islam, "memaksa" Bahadur Shah Zafar menjadi pemimpin mereka.
Bahadur Shah Zafar dinilai sebagai sosok yang tepat yang dapat menyatukan semua orang India dan akan diterima rakyat sebagai penguasa daripada penguasa lain di India.
Bahadur Shah Zafar, yang saat itu telah berusia 80 tahun, dianggap sebagai simbol perlawanan anti-Inggris di India.
Pemberontakan baru berhenti pada Juli 1858, setelah jatuh banyak korban jiwa dari kedua pihak.
Baca juga: Ruqaiya Sultan Begum, Permaisuri Terlama Kesultanan Mughal
Ketika pemberontakan dipadamkan, Bahadur Shah Zafar bersembunyi di Makam Humayun.
Pada akhirnya, Bahadur Shah Zafar menyerah kepada Inggris setelah lokasi persembunyiannya dikepung.
Meski tidak bertindak sebagai pelopor dan hanya dipilih sebagai pemimpin simbolis, peran Bahadur Shah Zafar dalam pemberontakan tahun 1857 membuatnya dituduh melakukan pengkhianatan terhadap Inggris.
Bahadur Shah Zafar diasingkan bersama istri dan beberapa anggota keluarganya yang tersisa, ke Myanmar, yang saat itu juga berada di bawah kendali Inggris.
Penangkapan dan pengasingan Bahadur Shah Zafar menandai berakhirnya Kekaisaran Mughal di India yang berdiri selama lebih dari tiga abad.
Melansir New World Encyclopedia, istri Bahadur Shah Zafar berjumlah empat dan mempunyai beberapa selir.