Pada 27 November 2022, Indonesia bersama beberapa negara bersurat kepada Parlemen Uni Eropa untuk menyikapi soal regulasi yang akan disahkan oleh Uni Eropa. Mereka menyayangkan sikap Uni Eropa yang dinilai tidak membuka ruang dialog dalam perumusan regulasi tentang produk bebas deforestasi.
Uni Eropa telah membahas regulasi tersebut sejak tahun lalu, tepatnya 17 November 2021. Uni Eropa beranggapan, deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi disebabkan oleh perluasan lahan pertanian dan peternakan seperti sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu dan karet serta produk turunannya. Sebagai konsumen, mereka harus bertanggung jawab atas masalah tersebut sehingga perlu dirumuskan sebuah aturan untuk menghentikan perluasan deforestasi dan degradasi lahan.
Regulasi baru tersebut tentu akan berimbas pada negara-negara produsen, tak terkecuali Indonesia sebagai salah satu negara penghasil sawit dan kayu terbesar di dunia.
Sebuah joint statement yang dilayangkan kepada Uni Eropa oleh 14 negara mempersoalkan beberapa hal yang dianggap menyulitkan negara produsen. Mereka antara lain menyoalkan cut-off date, mekanisme uji tuntas, persyaratan ketertelusuran dengan mekanisme geolokasi, dan periode transisi yang dianggap ditentukan sepihak.
Tak perlu takut, hanya perlu berbenah
Dalam konteks Indonesia sebagai negara penghasil, menurut saya, beberapa poin itu tidaklah rumit untuk ditaati. Soal cut-off date, misalnya. Uni Eropa menetapkan syarat untuk komoditas tertentu bisa masuk ke Uni Eropa adalah komoditas yang tidak berasal dari lahan deforestasi setelah 31 Desember 2020.
Dalam pantauan Auriga Nusantara, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), terjadi penurunan angka deforestasi di dalam izin pada kurun waktu 2019-2021. Total luasan hutan alam di dalam izin yang terkonversi menjadi tutupan sawit secara berturut-turut sebesar 37 ribu, 36 ribu dan 13 ribu hektare.
Jika angka rata-rata produksi CPO per hektare sebesar 3,97 ton, maka dapat diasumsikan CPO yang bersumber dari lahan terdeforestasi pada 2020 sebesar 142.920-ton CPO.
Angka tersebut jika dibandingkan dengan angka ekspor Indonesia ke Eropa pada tahun 2019 yaitu sebesar 3 juta Ton. Dengan demikian, kurang lebih hanya 4,6 persen CPO berasal dari lahan terdeforestasi yang dikirim ke Eropa pada 2020.
Artinya, cut-off date 31 Desember 2020 bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Apalagi, terjadi penurunan deforestasi di dalam izin perkebunan yang cukup signifikan pada 2021.
Kedua, soal geolokasi. Menurut saya, tidak sedikit perusahaan bahkan petani swadaya sawit yang telah menggunakan mekanisme ini. Hadirnya sistem rantai pasok atau supply chain certification standard dalam sertifikasi RSPO sudah cukup membantu untuk memastikan ketertelusuran sawit dalam produk CPO.
Bahkan, persoalan ini tidak akan merepotkan petani swadaya. Dari data yang tersedia, petani swadaya yang telah mendapatkan sertifikasi RSPO selalu mengalami peningkatan. Pada 2021 terdapat lebih dari 8 ribu petani swadaya tersertifikasi.
Ketiga, ISPO dan SVLK adalah modal besar pemerintah untuk memastikan sawit dan kayu bebas deforestasi dan degradasi lahan. Kedua peraturan tersebut sudah lama dan keberadaannya dan telah diakui oleh negara importir. Masa transisi 18 bulan adalah waktu yang lebih dari cukup untuk memulai wacana perbaikan kedua sistem tersebut.
Banyak organisasi masyarakat sipil yang telah melakukan kajian rantai pasok komoditas. Seperti yang dilakukan GIZ di Kalimantan Timur dalam memastikan sumber tandan buah segar sawit.
Karena itu, seharusnya tak sulit bagi pemerintah untuk membangun sistem tersebut karena telah didiskusikan di berbagai ruang. Jadi, bukan tidak mungkin Indonesia lepas dari label negara penghasil “produk anti-keberlanjutan”.
Indonesia hanya perlu menunjukkan komitmen dan kerja keras dalam upaya menghentikan laju deforestasi dari komoditas tertentu, seperti kayu dan sawit.
/tren/read/2023/01/07/145235665/indonesia-perlu-berbenah-hadapi-aturan-anti-deforestasi-uni-eropa