Namun, lebih dari angka yang mencengangkan ini, berita tersebut memunculkan pertanyaan mendalam: bagaimana masyarakat kita merespons kekerasan seksual di era digital? Apakah kita membantu korban atau justru memperburuk penderitaan mereka?
Media sosial yang awalnya dirancang untuk mempererat hubungan kini telah berkembang menjadi ruang publik yang masif.
Namun, dalam kasus kekerasan seksual, ia sering kali menjadi tempat yang memperburuk kondisi korban.
Konten seperti video, foto, atau cerita kekerasan seksual dengan mudah menyebar luas, menjadikan tragedi ini lebih dari sekadar peristiwa nyata—ia berubah menjadi "konten" yang dikonsumsi masyarakat secara masif.
Setiap interaksi digital—entah berupa komentar, unggahan ulang, atau sekadar klik—memperpanjang siklus penyebaran trauma ini.
Jejak digital, sekali terukir, hampir mustahil dihapuskan. Korban kekerasan seksual harus menghadapi realitas pahit bahwa penderitaan mereka terus hidup di dunia maya.
Bahkan ketika kasus selesai secara hukum, jejak digital yang tertinggal tetap menjadi beban psikologis yang tak kunjung hilang.
Nama dan citra korban sering kali terus-menerus menjadi bahan diskusi, membuat mereka sulit untuk melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang trauma yang menghantui.
Jejak ini menciptakan "penjara digital" di mana korban selalu merasa diawasi. Rasa diawasi ini serupa dengan konsep "Panopticon" yang dijelaskan Michel Foucault.
Dalam dunia maya, pengawasan tidak dilakukan oleh manusia, tetapi oleh sistem algoritmik yang bekerja tanpa henti.
Algoritma media sosial mempromosikan konten yang paling banyak menarik perhatian, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi korban.
Setiap komentar, setiap klik, setiap unggahan ulang memperkuat sorotan pada korban, mengubah kehidupan pribadi mereka menjadi konsumsi publik.
Selain sebagai pengawas, algoritma juga menciptakan distorsi realitas. Konsep Jean Baudrillard tentang "simulacra" dan "simulasi" menjelaskan bagaimana di era digital, citra tidak lagi merepresentasikan realitas, melainkan menggantikannya.
Kasus kekerasan seksual yang viral menjadi simulasi yang kehilangan substansi aslinya. Korban tidak lagi dipandang sebagai manusia, tetapi sebagai objek yang diolah oleh algoritma untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan konten.
Dalam banyak kasus, masyarakat tanpa sadar menjadi bagian dari sistem ini. Dengan niat baik untuk menyebarkan kesadaran, kita sering kali justru memperburuk kondisi korban.
Komentar-komentar publik yang tanpa empati, atau bahkan simpati yang tidak diminta, menambah lapisan tekanan sosial pada korban.
Reaksi publik sering kali lebih fokus pada emosi mereka sendiri, daripada memberikan dukungan nyata yang diperlukan oleh korban untuk pulih.
Dilema etika muncul ketika kita mempertimbangkan apakah penyebaran informasi ini benar-benar membantu.
Di satu sisi, kesadaran publik penting untuk menekan keadilan bagi korban. Namun, di sisi lain, kita harus bertanya: apakah korban harus mengorbankan privasi dan martabat mereka demi kepentingan kolektif?
Jejak digital yang abadi ini sering kali memperpanjang trauma korban, menjadikan mereka terjebak dalam siklus eksposur yang tidak pernah berakhir.
Meminimalkan dampak
Langkah pertama untuk meminimalkan dampak ini adalah dengan meningkatkan kesadaran etika digital. Kita harus bertanya pada diri sendiri sebelum menyebarkan atau mengomentari konten: apakah ini akan membantu atau malah memperburuk situasi korban?
Pendidikan tentang etika digital dan dampaknya perlu ditanamkan sejak dini, agar generasi mendatang memahami pentingnya menghormati privasi dan martabat orang lain.
Kedua, regulasi yang lebih ketat harus diterapkan pada platform media sosial. Perusahaan teknologi memiliki tanggung jawab untuk mencegah penyebaran konten yang berisiko merugikan korban.
Mekanisme penghapusan konten harus diperkuat, dan algoritma perlu dirancang ulang untuk memprioritaskan keamanan pengguna daripada sekadar keterlibatan. Selain itu, mekanisme pelaporan harus dibuat lebih mudah diakses oleh korban.
Ketiga, masyarakat harus belajar untuk mendukung korban dengan cara yang benar. Dukungan psikologis yang memadai, ruang aman untuk bercerita, dan perlindungan hukum yang tegas adalah langkah-langkah penting yang harus diupayakan.
Solidaritas tidak harus diwujudkan dengan menyebarkan konten, tetapi dengan membantu korban memulihkan kembali martabat dan kehidupan mereka.
Jejak digital tidak akan pernah benar-benar hilang, tetapi kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa dampaknya tidak memperburuk penderitaan korban.
Dunia maya adalah cerminan dari masyarakat nyata; jika kita ingin menciptakan ruang digital yang lebih manusiawi, kita harus memulai dengan mengedepankan empati, kehati-hatian, dan rasa hormat.
Pada akhirnya, korban kekerasan seksual bukan hanya angka dalam laporan statistik atau objek dalam berita viral. Mereka adalah individu dengan hak-hak yang harus dilindungi.
Jejak digital yang terbentuk tidak boleh menjadi alat untuk melanggengkan trauma, tetapi menjadi pengingat bagi kita semua bahwa di balik setiap klik dan unggahan ada kehidupan nyata yang terdampak.
Jika kita mampu melampaui logika algoritma dan lebih mengedepankan rasa kemanusiaan, kita bisa menciptakan ruang digital yang benar-benar mendukung, bukan menghancurkan.
/tren/read/2025/01/25/164632965/korban-kekerasan-seksual-terperangkap-dalam-jejak-digital