KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah menerapkan tarif sebesar 10 persen terhadap barang-barang impor dari berbagai negara dan memberlakukan tarif yang lebih tinggi lagi untuk negara-negara yang disebutnya sebagai "pelanggar terburuk".
Indonesia misalnya, dikenai tarif sebesar 32 persen.
Namun, bagaimana cara menghitung pajak atas impor? Rumus apa yang dipakai pemerintah AS dalam menerapkan besaran tarif ke suatu negara?
BBC Verify meneliti hitung-hitungan di balik angka-angka tersebut.
Ketika Trump menunjukkan bagan raksasa yang menampilkan besaran tarif ke sejumlah negara di Gedung Putih, publik awalnya berasumsi bahwa angka tersebut didasarkan pada kombinasi tarif yang selama ini berlaku dan beragam hambatan perdagangan (semisal aturan soal impor).
Namun belakangan, Gedung Putih menerbitkan rumus matematika.
Jika rumus tersebut diurai, sebetulnya itu adalah matematika sederhana. Ambil angka defisit perdagangan AS dengan negara tertentu, lalu bagi dengan total impor barang dari negara tersebut. Hasilnya kemudian dibagi dua.
Defisit perdagangan terjadi ketika negara A membeli (mengimpor) lebih banyak produk fisik dari negara B daripada yang dijual negara A (diekspor) ke negara B.
Sebagai contoh, AS mengimpor barang dari China sebesar 440 miliar dollar AS (setara Rp7.000 triliun). Sedangkan barang yang diekspor AS ke China "hanya" 145 miliar dollar AS.
Hal ini menyebabkan defisit perdagangan bagi AS sebesar 295 miliar dollar AS (setara Rp4.000 triliun).
Dalam menerapkan tarif baru ke China, AS membagi 295 dengan 440. Hasilnya adalah 0,670 atau 67 persen. Angka itu lantas dibagi dua dan dibulatkan ke atas. Dari situ akan didapat 0,33 atau 34 persen. Itulah tarif yang dikenakan terhadap China.
Demikian pula, ketika menerapkan tarif terhadap Indonesia. Hasil dari rumus Gedung Putih menghasilkan tarif 32 persen. Sedangkan terhadap Uni Eropa sebesar 20 persen, Malaysia 24 persen, dan seterusnya.
Banyak pihak menyebutkan bahwa tarif ini tidak bersifat timbal balik.
Tarif timbal balik didasarkan pada tarif yang selama ini dikenakan suatu negara kepada AS ditambah hambatan non-tarif (semisal aturan soal impor yang menaikkan biaya produk).
Namun, rumus Gedung Putih tidak menghitung "timbal balik" terhadap semua negara yang dikenai tarif baru.