PERJUANGAN para dosen ASN Kemendiktisaintek untuk memperoleh keadilan dalam aspek kesejahteraan yang diinisiasi oleh ADAKSI akhirnya menemukan titik terang.
Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) pada 27 Maret 2025—hanya empat hari menjelang Hari Raya Idul Fitri 1446 H.
Kebijakan ini disambut dengan antusias para dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) di perguruan tinggi negeri (PTN) satuan kerja (Satker), PTN badan layanan umum yang belum menerima remunerasi (BLU Non Remun), dan dosen yang diperbantukan di perguruan tinggi swasta (DPK).
Namun, tidak sedikit pula yang kecewa. Dosen-dosen di lingkungan PTN BLU yang sudah menerima remunerasi serta PTN badan hukum (PTN-BH) merasa terpinggirkan karena secara eksplisit dikecualikan dari penerima tunjangan kinerja sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Perpres tersebut.
Ekspresi kekecewaan merebak di berbagai platform media sosial. Bahkan, sejumlah kelompok dosen dari PTN-BH telah menggagas langkah hukum dengan berencana menggugat Perpres tersebut.
Baca juga: Tukin untuk Dosen Swasta
Argumen mereka merujuk pada Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014, dan diperkuat akta bahwa skema remunerasi di sejumlah PTN-BLU dan PTN-BH nilainya masih berada di bawah nominal tukin yang tertera dalam lampiran Perpres 19/2025.
Perlu dicermati bahwa pengecualian terhadap PTN-BLU dan PTN-BH dalam Perpres ini bukan tanpa dasar hukum.
Sesuai Pasal 64 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PTN-BLU dan PTN-BH memperoleh otonomi dalam pengelolaan nonakademik, termasuk dalam aspek organisasi, keuangan, ketenagaan, dan sarana prasarana.
Artinya, institusi tersebut diberi wewenang untuk merancang sistem remunerasi internal, menentukan besaran tunjangan, serta menyusun pola penghargaan berbasis kinerja.
Lebih lanjut, Pasal 65 Ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa pemberian status otonom bersifat selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh kementerian.
Dalam konteks ini, pemerintah berasumsi bahwa PTN-BLU dan PTN-BH telah memiliki kapasitas kelembagaan untuk mengelola keuangan secara mandiri dan akuntabel.
Bahkan, Pasal 65 Ayat (3) menegaskan bahwa PTN-BH berhak mengelola dana secara mandiri dan transparan.
Dari sinilah muncul logika kebijakan: karena tukin merupakan bentuk intervensi fiskal langsung dari pemerintah pusat, maka pemberiannya dianggap tidak relevan lagi bagi institusi yang telah otonom secara kelembagaan dan keuangan.
Pengecualian tersebut bukan bentuk diskriminasi, melainkan konsekuensi dari prinsip otonomi yang telah dilekatkan pada PTN-BLU dan PTN-BH.
Namun, implementasi otonomi pengelolaan keuangan di PTN-BLU dan PTN-BH tidak selalu berjalan ideal.
Baca juga: Tukin Dosen: Menelaah Ketimpangan Kebijakan Kesejahteraan Akademisi