SAN FRANCISCO, KOMPAS.com - TikTok pada Senin (17/8/2020) mengeluarkan pembelaan terbarunya atas tuduhan yang terus diarahkan Amerika Serikat (AS) bahwa aplikasi itu membahayakan keamanan nasional.
TikTok mengecam yang dilakukan AS itu adalah "rumor dan informasi yang salah" tentang hubungan mereka dengan Pemerintah China.
Aplikasi berbasis video itu baru saja meluncurkan pusat informasi online, ketika perusahaan induknya di China berhadapan dengan tenggat waktu yang ditetapkan Presiden AS Donald Trump.
Baca juga: Setelah TikTok, Trump Mempertimbangkan Blokir Alibaba
Presiden ke-45 AS tersebut mendesak divestasi TikTok, dan apabila TikTok menolaknya aplikasi itu akan dilarang di "Negeri Paman Sam".
Pada laman web berjudul "The Last Sunny Corner of The Internet", TikTok menyatakan, mereka tidak pernah aneh-aneh.
"TikTok tidak pernah memberikan data pengguna AS ke Pemerintah China, juga tidak akan melakukannya jika diminta," kata perusahaan aplikasi itu dalam unggahannya.
"Setiap sindirannya bertentangan, tidak berdasar, dan benar-benar salah," lanjut bunyi keterangan itu yang dikutip AFP, Selasa (18/8/2020).
Baca juga: Trump Perpanjang Waktu Penjualan TikTok di AS Jadi 90 Hari, tetapi Ada Syarat Baru
TikTok melanjutkan, data pengguna AS disimpan di negara itu dan cadangannya ada di Singapura.
Aplikasi yang dimiliki ByteDance yang berbasis di China itu juga meluncurkan akun Twitter @tiktok_comms untuk membantu menyelesaikan masalah secara cepat.
Saat ketegangan meningkat antara AS dan China, Trump mengklaim TikTok dapat digunakan oleh China untuk melacak lokasi karyawan federal, membuat dokumen untuk memeras orang, dan melakukan spionase perusahaan.
Suami Melania Trump itu juga memerintahkan pelarangan pada aplikasi perpesanan WeChat yang banyak dipakai di China.
Baca juga: Video Viral Melania Tak Mau Digandeng Trump Saat Turun dari Air Force One
Pada Jumat (14/8/2020), Trump menandatangani perintah eksekutif secara terpisah bagi ByteDance untuk menjual sahamnya ke Musical.ly.
Aplikasi itu dibeli ByteDance dan dilebur menjadi TikTok pada 2017.
TikTok mengatakan, tindakan AS itu "berisiko merusak kepercayaan bisnis global pada komitmen AS terhadap supremasi hukum, yang telah menjadi magnet bagi investasi dan memacu pertumbuhan ekonomi Amerika selama beberapa dekade."
Lebih lanjut TikTok juga menegaskan, mereka akan "mengupayakan semua pemulihan yang tersedia untuk memastikan aturan hukum tidak diabaikan."