SEOUL, KOMPAS.com - Korea Utara dituding mencuri hingga Rp 4 triliun melalui mata uang kripto untuk mendanai senjata nuklir mereka.
Fakta itu terungkap melalui laporan rahasia PBB, setelah panel berisi pakar memonitor dugaan pencurian di periode 2019 sampai November 2020.
"Total pencurian aset virtual diperkirakan mencapai 316,4 juta dollar AS (Rp 4,4 triliun)," kata sumber dalam PBB.
Baca juga: Serangan Siber terhadap Departemen Energi AS adalah Ancaman Serius
Laporan itu menyatakan, Korea Utara meretas bursa efek dan lembaga finansial, dan menggunakan dananya untuk pengembangan senjata nuklir serta rudal.
Dilansir AFP Rabu (10/2/2021), mayoritas pencurian menggunakan uang kripto itu terjadi dalam dua insiden di akhir 2020.
Pyongyang disebut mempunyai ribuan pasukan peretas terlatih, yang menyerang lembaga atau perusahaan besar di seluruh dunia.
Negara penganut ideologi Juche itu dituding menggunakan kemampuan mereka di dunia siber demi mengembangkan finansialnya.
Korut saat ini berada dalam berbagai tekanan sanksi internasional, buntut pengembangan rudal balistik dan nuklir yang dilarang.
Dunia sempat memperoleh harapan setelah pada 2018, Pemimpin Korut Kim Jong Un bersedia untuk membuka pintu diplomasi.
Baca juga: Serangan Siber Hantam AS Bertubi-tubi, Joe Biden Kecam Donald Trump
Namun dalam pertemuan dengan Presiden AS Donald Trump di 2019, asa denuklirisasi pun rontok karena dua kubu tarik ulur.
Pyongyang meminta agar sanksi terhadap mereka dicabut, sementara AS menuntut agar senjata nuklirnya diserahkan dahulu.
Laporan PBB menyatakan, mereka tengah menginvestigasi peretasan September 2020, di mana 281 juta dollar AS (Rp 3,9 triliun) uang kripto lenyap.
Kemudian peretasan kedua terjadi pada Oktober 2020, dengan dana sebesar 23 juta dollar AS (Rp 321,6 miliar) lenyap.
Baca juga: Para Peneliti Vaksin Covid-19 Jadi Sasaran Serangan Siber
"Analisis awal, berdasarkan pada vektor serangan dan upaya mencuci uang haram, menunjukkan hubungan dengan Korea Utara," ulas laporan tersebut.
Kemampuan siber Pyongyang menuai perhatian dunia di 2014, ketika mereka diduga meretas Sony Pictures Entertainment.
Tindakan itu balasan setelah Sony meluncurkan The Interview, film satir yang isinya mengolok-olok Kim Jong Un.
Serangan itu membuat sejumlah film yang seharusnya belum dirilis beredar, dengan dokumen rahasia juga muncul ke internet.
Baca juga: Menlu AS: Serangan Siber Korea Utara Lebih Berbahaya daripada Rusia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.