PEMILIHAN Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus Leo XIV pada 8 Mei 2025, bukan hanya momen penting dalam sejarah Gereja Katolik, melainkan juga titik balik moral bagi dunia yang sedang kehilangan arah.
Sebagai Paus ke-267 dan yang pertama berasal dari Amerika Serikat, kehadirannya membawa pesan kuat tentang kesinambungan dan pembaruan.
Terlebih, nama "Leo" yang ia pilih bukanlah nama tanpa makna. Ia menjadi Paus ke-14 yang menggunakan nama itu, nama yang membawa gema sejarah kepausan yang pernah menyalakan obor keadilan sosial di kala Paus Leo XIII menjabat.
Lahir di Chicago pada 14 September 1955, Paus Leo XIV berasal dari Ordo Santo Agustinus, tarekat religius yang menjunjung tinggi hidup bersama dan pelayanan umat.
Ia telah mengabdi di berbagai belahan dunia, khususnya Amerika Latin, dengan pengalaman mendalam dalam hukum kanonik, pendidikan teologi, dan karya pastoral.
Kini, di tengah dunia yang dilanda ketegangan geopolitik, krisis ekologis, dan ketimpangan sosial mencolok, Gereja Katolik berada di persimpangan sejarah: melanjutkan ritus atau menjadi suara kenabian.
Paus Leo XIV dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks dibanding para pendahulunya. Dunia modern tidak hanya haus akan jawaban spiritual, tetapi juga menanti sikap tegas dari lembaga keagamaan terhadap berbagai persoalan struktural: dari eksploitasi tenaga kerja, kerusakan lingkungan, hingga diskriminasi yang terus mengakar.
Baca juga: Profil Paus Leo XIV Robert Prevost, Orang Amerika yang Soft Spoken
Dalam konteks ini, nama Leo tak bisa dilepaskan dari sosok besar Paus Leo XIII (1878–1903), yang melalui ensiklik Rerum Novarum mengawali tradisi ajaran sosial Gereja Katolik.
Rerum Novarum, yang diterbitkan pada 15 Mei 1891, menjadi tonggak moral Gereja terhadap realitas pasca-Revolusi Industri.
Dokumen ini menyerukan keadilan bagi kaum buruh, mendukung serikat pekerja, menjunjung hak atas milik pribadi yang disertai tanggung jawab sosial, serta menegaskan peran negara dalam melindungi yang lemah.
Dalam bahasa masa kini, Paus Leo XIII telah menyerukan perlunya keberpihakan. Keberpihakan yang tidak partisan, melainkan profetik berpihak pada kebenaran, kemanusiaan, dan martabat hidup.
Kini, lebih dari seabad kemudian, tantangan serupa hadir dalam wujud baru: buruh dalam ekosistem digital, pemiskinan struktural akibat krisis iklim, dan eksklusi sosial yang meluas.
Dunia menanti, apakah Paus Leo XIV akan menggemakan kembali semangat Rerum Novarum dalam konteks kontemporer, dan menjadikan Gereja sebagai suara moral global yang berpijak pada kenyataan, bukan sekadar doktrin.
Paus Leo XIV membawa serta modal pengalaman yang sarat makna dalam mengemban tugas tertinggi Gereja Katolik.
Sebagai misionaris di Peru sejak pertengahan 1980-an, dan kemudian menjabat sebagai Uskup Chiclayo hingga 2023, ia tidak melayani umat dari kejauhan, melainkan hidup bersama mereka—merasakan langsung penderitaan, ketidakadilan, dan harapan yang lahir dari keterbatasan hidup sehari-hari.