ASAP putih mengepul dari cerobong Kapel Sistina. Pada 8 Mei 2025, dunia menyaksikan satu dari sedikit peristiwa spiritual yang melampaui batas agama.
Dari balkon Basilika Santo Petrus, Kardinal Dominique Mamberti mengumumkan Habemus Papam.
Kardinal Robert Francis Prevost, misionaris asal Amerika Serikat yang lama mengabdi di Peru, terpilih sebagai Paus ke-267 dengan nama Paus Leo XIV.
Ini bukan sekadar pengangkatan pemimpin spiritual umat Katolik, melainkan juga sinyal moral bagi dunia yang tengah diguncang perpecahan, perang, dan krisis kemanusiaan.
Bagi seorang Muslim moderat, kabar ini bukan soal doktrin, tapi soal kemanusiaan. Dalam Islam, menyampaikan selamat kepada sesama atas kabar baik adalah bagian dari akhlak. Dan dalam konteks ini, Paus Leo XIV adalah kabar baik yang pantas dihormati.
Paus Leo XIV tidak datang dari jalanan elite Vatikan. Ia ditempa dalam pelayanan misi yang nyata—di Peru, ia hidup di tengah masyarakat miskin dan umat terpinggirkan.
Baca juga: Paus Leo XIV: Harapan bagi Dunia yang Terluka
Pengalaman itu menjadikannya bukan hanya teolog, tetapi juga pelayan. Ia diangkat menjadi Uskup Chiclayo, lalu dipercaya sebagai Prefek Dikasteri untuk Para Uskup sejak 2023.
Dari sana, ia melangkah ke takhta Santo Petrus dengan kaki yang tahu betul bagaimana rasanya berdiri bersama yang lemah.
Dalam pidato perdananya dari balkon Basilika Santo Petrus, Leo XIV berkata: “Mari kita melangkah maju bersama, tanpa rasa takut, bersatu, bergandengan tangan dengan Tuhan dan satu sama lain.”
Kalimat yang disampaikan dalam bahasa Italia dan Spanyol itu bukan sekadar ajakan bagi umat Katolik, tapi undangan terbuka bagi semua orang yang ingin berjalan dalam damai.
Sebagai seorang Muslim, sapaan itu tak terdengar asing. Islam membuka setiap perjumpaan dengan salam damai: assalamu‘alaikum.
Dalam ajaran yang bersumber dari rahmat, menyapa yang berbeda tidak pernah berarti menyimpang. Justru di situlah iman diuji: bukan dalam kemiripan, tetapi dalam sikap terhadap yang tidak sama.
Indonesia memiliki lebih dari 244,7 juta Muslim. Itu tidak serta-merta menjadikannya negeri yang steril dari intoleransi.
Gereja yang digembok, jemaat yang diintimidasi, dan doa bersama yang dibubarkan adalah pengingat bahwa mayoritas tidak selalu menjadi penjaga yang adil.
Dalam iklim seperti itu, suara pemimpin dunia seperti Paus bukan sekadar pesan lintas samudra, tetapi juga cermin yang memantulkan nilai.