KOMPAS.com - Pada tahun 1998, Indonesia berada di ambang perubahan besar. Krisis ekonomi yang melanda negeri ini tak hanya mengguncang stabilitas finansial, tapi juga memantik gelombang keresahan di kalangan mahasiswa.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Presiden Soeharto yang kembali terpilih untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR awal Maret 1998, menyulut aksi-aksi protes yang awalnya terbatas di lingkungan kampus, lalu merambah ke jalanan.
Suasana kian panas ketika demonstrasi mulai dihadapi aparat keamanan dengan kekerasan.
Di Yogyakarta, pada 8 Mei 1998, seorang mahasiswa bernama Moses Gatutkaca tewas saat aksi dibubarkan secara represif. Hanya empat hari berselang, tragedi serupa terjadi di Jakarta.
Empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur ditembus peluru tajam ketika mereka bergerak keluar dari kampus menuju Gedung DPR/MPR.
Di tengah tekanan itu, Presiden Soeharto yang baru saja kembali dari KTT G-15 di Mesir, mencoba menyampaikan kondisi perekonomian nasional di forum internasional.
Namun, publik Tanah Air lebih tertuju pada aksi-aksi mahasiswa yang terus meluas. Tuntutan agar Soeharto mundur makin lantang terdengar.
Baca juga:
Puncaknya terjadi pada 18 Mei 1998. Ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menduduki Gedung DPR/MPR.
Mereka mendesak agar pimpinan dewan segera mengusulkan Sidang Istimewa untuk menggulingkan Soeharto.
Harian 优游国际 edisi 19 Mei 1998 menggambarkan bagaimana sejak pagi, massa mahasiswa berdatangan bergelombang ke parlemen, menggunakan bus hingga mobil pribadi.
Sejumlah tokoh masyarakat yang kritis terhadap pemerintahan turut hadir dan menyampaikan orasi, salah satunya adalah Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu.
Tepat pada 20 Mei 1998, saat bangsa ini memperingati 90 tahun Hari Kebangkitan Nasional, suasana justru mencekam.
Tanggal yang seharusnya menjadi momen reflektif, berubah menjadi titik genting perjuangan reformasi.
Pemerintah saat itu tengah berupaya meredam gejolak dengan menggulirkan rencana pembentukan Komite Reformasi. Komite ini dirancang untuk mengawal pemilu dan membuka jalan bagi Soeharto mundur secara bertahap.
Namun, gagasan itu ditolak mahasiswa. Mereka menuntut pengunduran diri secara langsung dan tanpa syarat.