KOMPAS.com - Tugu Biawak setinggi empat meter yang berdiri megah di Desa Krasak, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, tengah menjadi perbincangan hangat warganet dan masyarakat.
Dibangun dengan anggaran hanya sekitar Rp 50 juta, patung ini menuai pujian karena detailnya yang realistis serta makna filosofis yang kuat.
Patung biawak ini bukan sekadar monumen hias. Ia menjadi simbol pelestarian alam, representasi kekayaan fauna lokal, sekaligus wujud kolaborasi sukses antara komunitas, seniman, dan program Corporate Social Responsibility (CSR) dari sejumlah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Wonosobo.
Baca juga:
Berikut 4 fakta dari Tugu Biawak di Wonosobo:
Proyek ini digagas Karang Taruna Desa Krasak dan direalisasikan dalam waktu 1,5 bulan oleh seniman lokal Rejo Arianto. “Kalau untuk kota Wonosobo, saya tidak berhitung. Ini adalah sumbangsih saya untuk Ibu Pertiwi,” ujar Rejo saat ditemui pada Rabu (23/4/2025).
Rejo, lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, dikenal aktif berkarya di kampung halamannya. Beberapa karyanya bahkan menghiasi Pendopo dan kantor Pemerintah Kabupaten Wonosobo.
“Tugu Biawak adalah patung ketiga karya Mas Ari, dan proyek patung pertama yang dipesan pemerintah daerah,” ungkap Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat.
Baca juga:
Pemilihan biawak sebagai objek patung bukan tanpa alasan. Hewan ini merupakan spesies endemik di wilayah tersebut yang mulai jarang terlihat. “Biawak mewakili karakter khas daerah kami. Harapannya, masyarakat bisa lebih peduli terhadap hewan ini dan ekosistemnya,” kata Rejo.
Dalam ekosistem, biawak memiliki peran penting sebagai predator alami, membantu menjaga keseimbangan populasi hama.
Melalui karya ini, Rejo ingin menyampaikan pesan harmoni antara manusia dan alam.
“Seni itu adalah ekspresi jiwa. Saya ingin karya ini dilihat sebagai pengingat agar kita lebih peduli pada lingkungan,” ujarnya.
Baca juga:
Sebagai perbandingan, Tugu Penyu di Pelabuhanratu, Sukabumi, dibangun dengan dana Rp 15,6 miliar namun sempat rusak beberapa bulan setelah diresmikan.
Tugu Bulan Sabit di Kutai Timur yang menelan biaya Rp 2,5 miliar pun menuai kritik karena bentuknya dianggap mirip helm.
Sementara itu, Tugu Pesut Mahakam di Samarinda dibangun dengan anggaran Rp 1,1 miliar, namun desainnya disebut tidak sesuai ekspektasi masyarakat. “
Sebagai seniman, saya melihat karya-karya itu punya nilai seni, tapi harga dan anggaran harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah,” jelas Rejo.
Baca juga:
Tugu Biawak membuktikan bahwa karya seni yang berkualitas tidak harus mahal. Kolaborasi antara komunitas, seniman lokal, dan pemanfaatan CSR mampu menghasilkan ikon daerah yang estetik, fungsional, dan sarat makna.
“Semoga Tugu Biawak bisa menjadi inspirasi bagi proyek-proyek pembangunan tugu di tempat lain agar lebih memperhatikan efektivitas anggaran tanpa mengorbankan kualitas,” tutup Rejo.
SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Bayu Apriliano | Editor: Ferril Dennys, Gloria Setyvani Putri)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.