Acara perjalanan religius ini terbuka untuk umat Katolik yang mendaftarkan ke panitia perjalanan.
Untuk melukiskan menariknya perjalanan ke Manado ini, seorang pastor yang sering tampil jenaka mengatakan seperti berikut ini.
“Kalau mendengar kata Manado maka kita ingat lagu berjudul 'Polo pa Kita Sayang'.”
"Polo pa Kita" adalah bahasa Melayu Minahasa yang berarti “peluklah saya”. “Polo pa kita sayang” adalah lagu romantis tentang sepasang anak manusia yang berasmara dan akan berpisah karena salah satu dari keduanya akan pergi ke tempat lain atau merantau.
Lagu “Polo pa kita sayang” mirip atau bahkan sama dengan lagu “Sail Over Seven Seas” yang diciptakan dan dilantukan pertama tahun 1986, oleh penyanyi Belanda Gina Tielman.
Tentulah lirik lagu “Polo pa Kita Sayang” (muncul tahun 1996-an) dengan lirik “Sail Over Seven Seas” sangat beda.
"Polo Pa Kita Sayang" antara lain dipopulerkan oleh penyanyi legendaris asal Remboken, Minahasa, Sulawesi Utara, Conni Mamahit (almarhumah).
Vonis bagi Manado adalah kawasan penuh hubungan asmara. Ini terkait dengan perempuan Manado.
Pernah seorang tokoh agama Minahasa mengatakan, Manado kini (beberapa tahun lalu), terkenal dengan julukan, “bubur, boulevar dan bibir”. Ini sebuah stigma berlebihan.
Manado identik dengan Sulawesi Utara. Manado adalah ibu kota Provinsi Sulawesi Utara. Manado lebih terkenal daripada Sulawesi Utara. Semua orang Sulawesi Utara dikenal sebagai orang Manado.
Manado juga identik dengan Minahasa (suku mayoritas di Sulawesi Utara). Suku Minahasa ini yang lebih sering disebut atau diidentikan dengan orang Manado.
Saat ini kita perlu sedikit mengenal Minahasa atau Manado. Karena mulai Oktober 2024 mendatang, pemerintahan Republik Indonesia akan dipimpin tokoh berdarah sebagian dari Minahasa atau Manado, yakni Prabowo Subianto. Ibundanya berdarah Minahasa dari wilayah Langoan, Minahasa Induk.
Kini kita coba bicara tentang orang Manado yang lebih menunjuk ke orang Minahasa. Kita lihat apa yang dikatakan seorang antropolog, ahli biologi, penjelajah dan naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace pada 165 tahun silam.
Tentang ini saya membaca buku tulisan orang terkenal dari Inggris, Alfred Russel Wallace, berjudul “Sejarah Nusantara (The Malay Archipelago) - Perjalanan, Penjelajahan, serta Kajian Manusia dan Alam Indonesia”.
Buku ini selalu saya bawa selama sembilan tahun terakhir ini bila sedang mengadakan perjalanan di Manado dan berbagai wilayah di Sulawesi Utara.
Saya sering ke Manado setelah diangkat sebagai warga kehormatan Sulawesi Utara oleh Gubernur Sulawesi Utara (2016 - 2025) Olly Dondokambey dan Wakil Gubernur Steven Kandouw.
Olly dan Steven adalah dua tokoh Minahasa yang menciptakan Sulut menuju kawasan surga wisatawan luar dan dalam negeri, selain sebagai kawasan lumbung pangan Nusantara.
Manado, bagai taman besar
Ketika menginjakan kakinya di Kota Manado, 10 Juni 1859, Wallace mengucapkan kata-kata pujian tentang keindahan Manado, kotanya orang Minahasa.
Wallace mengatakan seperti berikut ini: “Kota kecil Manado adalah salah satu yang tercantik di wilayah Timur. Kota ini nampak seperti taman besar yang berisi deretan vila pedesaan...”.
Kini pemerintahan Kota Manado dipimpin tokoh yang selalu tersenyum, Wali Kota (2021 -2027) Andrei Angau dan wakilnya, Richard HM Sualang.
Ketika Wallace mulai mengadakan perjalanan dari Manado ke wilayah pedalaman, melintasi Desa Lotta menuju Tomohon dan Tondano, kekagumannya semakin menjadi-jadi. Ia bagaikan masuk ke dalam firdaus yang romantis sekali.
“Kami melewati tiga desa yang kerapiannya dan keindahannya membuat saya takjub,” ujar Wallace.
Lota adalah desa tempat pahlawan nasional asal Sumatera Barat, Imam Bonjol dimakamkan. Sedangkan Tondano adalah tempat makam Kiai Mojo.
Dari Manado, lewat Lotta dan Tomohon, Wallace menikmati jalan-jalan yang bersih dan rapi, walaupun harus mendaki.
“Jalan ini dibatasi oleh pagar tanaman yang rapi yang seringkali seluruhnya terdiri dari pohon pohon mawar yang selalu berbunga,” kata Wallace yang seakan ingin mengatakan bunga mawar (berduri di Minahasa) selalu mekar abadi.
Oleh karena itu, kini jangan sampai di Manado ada bangunan-bangunan gedung mangkrak seperti di depan Hotel Grand Puri dan Manado Beach Hotel atau juga rumah dinas bupati Minahasa Utara di kaki Gunung Kalabat.
Manado perlu sebagai taman besar, bukan bangunan-bangunan beton. Pantai-pantai akan lebih indah bila bersifat alami, jangan tergila-gila reklamasi.
Ingat, bumi kini semakin panas karena perubahan iklim yang dahsyat. Manado harus sebagai taman besar penuh mawar abadi, “Kawanua, Minahasa adalah tanah cinta”.
Lalu apa kata Wallace tentang orang Minahasa? Tentang perempuan Minahasa, Wallace mengatakan, “Semua perempuan bekerja.”
Perempuan Minahasa bukan hanya molek, kuning langsat putih bak orang Eropa, tapi juga giat bekerja cari nafkah untuk keluarga.
“Orang Minahasa sangat berbeda dengan penduduk pulau lainnya di Kepulauan Nusantara. Mereka berkulit cokelat muda atau kuning langsat, sering kali mendekati kulit putih orang Eropa... Di beberapa desa pedalaman di mana mereka mungkin dianggap sebagai ras paling murni (Minahasa), baik pria maupun perempuan, sangat elok, “ begitu kata Walace yang tiba di Manado 10 Juni 1859.
Dapat disimpulkan sementara, orang Manado yang asli itu (pria atau perempuan), berkulit kuning, cokelat muda dan cantik, cakep, fasung, gaga (istilah bahasa Minahasa masa kini).
Orang Manado atau Minahasa lembut (di masa lalu orangnya pendiam), tidak suka baveto (marah-marah atau memaki). Manado yang juga sering dieja Menado bukan kependekan dari “menang omong doang”.
Menurut Walace, orang Minahasa (Manado) tunduk pada otoritas orang-orang yang mereka anggap atasan, serta mudah dibujuk atau diminta untuk belajar dan mengadopsi kebiasaan orang beradab (modern atau mutakhir atau budaya "masa now").
Ini bisa ditafsirkan atau diterjemahkan secara sempit, orang Minahasa lebih mudah cenderung menerima atau mengejar mode pakaian atau barang-barang produk mutakhir.
Pertengahan 1970-an, ketika siaran televisi belum masuk Minahasa, di desa-desa (kampung) sudah banyak yang punya televisi. Di desa-desa (kampung-kampung) yang belum dialiri listrik, banyak orang yang punya kulkas (ada yang dipakai untuk lemari pakaian).
“Mereka merupakan mekanik pintar dan tampaknya mampu menerima pendidikan intelektual yang cukup banyak,” lanjut Wallace.
Ini bisa diterjemahkan bebas seperti kalimat ini, orang Minahasa punya karakter hormat bahkan tunduk atau memuja (devosif) pada atasan, misalnya pemimpin pemerintahan, apa lagi presiden, jenderal, profesor, doktor.
Sikap ini lebih dominan dalam diri Minahasa ketimbang beroposisi pada pemimpin pemerintah. Tentu ada kekecualian. Tidak ada yang mutlak dalam kehidupan ini.
Kita tentu masih ingat Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi (terutama di Sulawesi Utara) pada 2 Maret 1957 sampai 20 Oktober 1961.
Gerakan ini merupakan protes keras yang kemudian berubah jadi pemberontakan bersenjata sejumlah tokoh Minahasa terhadap pemerintahan pusat di Jakarta.
Tentang pendidikan dan intelektualitas dapat dilihat dari jumlah orang buta huruf di Minahasa boleh dibilang nol persen, sejak masa awal Republik Indonesia merdeka pada 17 Agstus 1945.
Wallace yang telah menjelajahi seluruh Nusantara juga mengatakan, “Mereka (orang Minahasa) adalah penduduk yang paling baik dalam hal pakaian, tempat tinggal, makanan dan pendidikan.”
“Mereka juga telah mencapai kemajuan dalam hal kondisi sosial yang lebih baik. Saya yakin tidak ada contoh di tempat lain yang menunjukan hasil yang begitu mencolok dalam waktu yang begitu singkat. Ini adalah hasil sistem pemerintahan yang kini ditetapkan oleh Belanda di wilayah jajahannya di Timur,” demikian ucap Wallace 165 tahun lalu.
Menurut Walace, para misionaris Belanda juga telah membangkitkan bakat alam manusia Minahasa bidang seni suara, menyanyi dan bermusik.
Wallace mengatakan bernyanyi dan bermazmur adalah berkat bagi Minahasa. "Nyanyian asli Minahasa hampir selalu monoton dan melankolis," kata Wallace.
Namun, bukankah irama monoton itu juga merupakan mantra yang punya daya atau kekuatan dari dalam manusia?
Untuk menikmati lagu-lagu melankolik Minahasa, saya sarankan Anda mendengarkan lagu berjudul “Miara Si Luri” atau “Luri Wisako” atau “Niko Mokan”.
Untuk menikmati Minahasa kita perlu menyaksikan atau kalau perlu ikut terjun dalam tarian “Maengket”. Tarian “Maengket” akan dahsyat bila diselenggarakan secara massal (melibatkan ribuan penari rakyat Minahasa).
Ini bisa dicoba dalam acara pesta bunga Tomohon yang selalu diadakan tiap bulan Agustus. Jangan hanya menjiplak acara pesta bunga Pasadena, Amerika Serikat atau Floriade Belanda.
/stori/read/2024/06/28/090052179/manado-dan-perempuan-minahasa