KOMPAS.com - Amar Alfikar harus berjuang selama lima tahun untuk mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri. Hingga akhirnya, ia diterima beasiswa Chevening dan bisa menempuh pendidikan Strata 2 di Inggris.
Kisah perjuangan Amar yang merupakan seorang transpria untuk mendapat beasiswa belajar di luar negeri itu penuh liku.
Diwawancara 优游国际.com secara virtual pada Rabu (23/3/2022) malam, Amar menceritakan, ia awalnya mencoba untuk mendaftar berbagai beasiswa kuliah di luar negeri. Hal itu menjadi impiannya sejak masih duduk di bangku SMP.
Ia melamar permohonan berbagai beasiswa, namun tidak berhasil.
"Selama 5 tahun berusaha mengajukan beberapa beasiswa, tetapi gagal, namun tetap dicoba karena kuliah di luar negeri itu impian sejak SMP. Namun perjalanannya tidak gampang," kata Amar.
Bahkan, ia juga pernah mengajukan lamaran beasiswa ke Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), namun kandas. Bukan karena masalah akademik, melainkan diduga persoalan identitas.
Baca juga: 6 Tips agar Lolos Beasiswa Kuliah Penuh Chevening Inggris
Identitas Amar yang merupakan transpria menjadi hambatan utama untuk meraih beasiswa di luar negeri. Hal itu, kata Amar, dirasakan juga oleh teman-temannya yang senasib. Masalah identitas menjadi isu sensitif di Indonesia sehingga peluang untuk mendapatkan beasiswa sangat kecil.
Namun Amar pantang menyerah. Ia kemudian berusaha kembali untuk meraih impian belajar di luar negeri. Ia mencoba mengajukan beasiswa kuliah jurusan Human Rights.
Ia merasa jurusan itu cocok dengan aktivitas dirinya yang kerap mengadovkasi isu-isu transgender dan berkaitan dengan hak asasi manusia. Namun lagi-lagi upaya itu kandas.
Akhirnya, Amar kembali mengajukan lamaran beasiswa kuliah jurusan Teologi dan Agama melalui Chevening Inggris. Tidak disangka, ia diterima di Universitas Birmingham, Inggris, dan mulai kuliah pada September 2021.
Diketahui, kuliah S2 di Inggris berlangsung selama setahun. Artinya masa beasiswa Amar berlaku hingga September 2022. Pada bulan itu, ia harus menyelesaikan studinya hingga lulus.
Amar mengatakan, ia memilih jurusan Teologi dan Agama karena beririsan dengan isu yang diusungnya, yakni hak-hak kaum minoritas, termasuk transgender.
Apalagi, ia sendiri berasal dari keluarga pesantren di Kendal, Jawa Tengah, sehingga isu agama bagi kaum transgender menjadi fokus perhatiannya.
Penulis buku Tafsir Progresif Islam-Kristen terhadap Keragaman Gender dan Seksualitas: Panduan Memahami Tubuh dan Tuhan ini mengatakan, tren agama saat ini, terutama di Indonesia, kerap dijadikan justifikasi terhadap konservatisme dan kekerasan. Namun baginya, agama juga bisa menjadi justifikasi untuk keadilan sosial dan keberagaman.
"Saya ingin mempelajari, selain justifikasi kekerasan, sebenarnya agama bisa juga untuk justifikasi keadilan dan ramah terhadap keberagaman," kata salah satu pendiri Jaringan Transgender Indonesia ini.