KOMPAS.com – Masuknya kecerdasan buatan (AI) ke industri kreatif memicu kekhawatiran di kalangan profesional animasi dan perfilman. Alat seperti Midjourney, ChatGPT, dan generator animasi otomatis lainnya mulai digunakan untuk mempercepat proses produksi dan memicu ancaman terhadap keberadaan animator manusia.
Namun, kesuksesan film animasi Jumbo telah membuktikan bahwa AI takkan sepenuhnya mengalahkan kreativitas manusia.
Ryan Adriandhy menjadi semakin optimis, setelah film animasi yang disutradarainya menyalip jumlah penonton Frozen 2, dan juga menjadi film animasi terlaris di Asia Tenggara. Hingga Rabu (14/05/25), jumlah penonton Jumbo telah menembus angka 9,6 juta.
AI bergantung pada karya manusia
Menurut Ryan, generative AI masih belum bisa menggantikan proses pembuatan animasi utuh yang hanya bisa dibuat oleh manusia. Dia menjelaskan bahwa ketika AI bisa menghasilkan suatu karya, AI juga harus belajar dan membuat database berdasarkan karya yang dibuat oleh manusia.
“Kalau untuk generatif sih, saya masih meragukan dia bisa menggantikan proses pembuatan animasi utuh yang dibuat oleh manusia karena kan Generative AI juga secara learningnya, datanya juga harus dibuat oleh manusia,” jelas Ryan.
Ia mencontohkan tren yang belakangan ramai diperbincangkan, seperti upaya meniru gaya visual Studio Ghibli dengan bantuan AI.
Dilansir dari Independent (27/3/2025), CEO OpenAI Sam Altman menyebut bahwa perusahaannya telah mengembangkan alat baru yang memungkinkan pengguna mengubah foto mereka ke dalam gaya khas pendiri Studio Ghibli, Hayao Miyazaki, proses yang disebut “Ghibli Fication”.
Menanggapi hal itu, Ryan mengajak publik untuk berpikir lebih jauh soal ketergantungan AI terhadap kreator manusia. Ia juga menegaskan kembali bahwa otak dan rasa manusia tidak mungkin bisa digantikan oleh keberadaan manusia.
“Ibaratnya kalau tiba-tiba berandai dulu saja. Katakanlah semua animator di dunia termasuk Ghibli bilang, ‘Kita gak mau bikin animasi lagi.’ AI-nya juga gak bisa “makan” dan ambil sumber apa-apa. Jadi terserah nanti AI-nya mau jadi seperti apa, tapi menurutku yang lebih penting adalah tetap lestari adalah pembuatan animasi dari otak dan rasa manusia sih,” lanjutnya.
Etika penggunaan AI
Bagi Ryan Adriandhy, penggunaan generative AI dalam ranah seni dan animasi masih menyisakan persoalan etika yang belum tuntas. Ia menyoroti bagaimana AI kerap diminta untuk menghasilkan karya dengan meniru gaya visual tertentu, seperti “buatkan foto keluarga saya seolah-olah dibuat oleh Studio Ghibli”.
“Generative AI itu kan diminta untuk membuat sesuatu berdasarkan karya yang sudah ada. Tapi apakah Ghibli-nya sendiri mengizinkan hal itu? Kita nggak tahu, dan tidak ada konsen secara resmi,” kata Ryan.
Menurutnya, walaupun ada sejumlah seniman yang secara sadar berkolaborasi dengan OpenAI dan mengizinkan gaya visualnya direplikasi, kasus Studio Ghibli berbeda. Ia juga merasa ada ketidakadilan kalau nantinya hasil karya AI akan dianggap sama atau setara dengan Intellectual Property yang dihasilkan oleh Ghibli.
“Menurutku sangat tidak fair dan setauku di Jepang itu kalau misalnya karya yang AI generatif dia tidak boleh dikomersialisasikan. Jadi dia gak bisa didaftarin sebagai hak cipta. Jadi kalau menurutku untuk sekarang sih aku pribadi aku menghindari penggunaan AI, karena aku gak merasa butuh generatif AI,” tegas Ryan.
Bagi Ryan, keberhasilan film Jumbo bukan hanya soal pencapaian box office, tetapi juga menjadi titik balik bagi masa depan industri animasi di Indonesia, terutama bagi para talenta muda. Ia melihat adanya lonjakan semangat dari generasi baru yang kembali percaya bahwa menjadi animator adalah profesi yang layak diperjuangkan.
"Aku sih optimis ya setelah Jumbo," ujar Ryan.
"Banyak banget yang ngasih respon langsung di media sosial, bilang kalau cita-cita jadi animator yang dulu sempat dikubur, sekarang muncul lagi. Mereka percaya itu mungkin," tambahnya.
Menurut Ryan, Jumbo bahkan mulai mengubah cara pandang masyarakat terhadap profesi animator. Jika dulu pekerjaan di industri animasi sulit dijelaskan kepada orang awam, kini anak muda yang bercita-cita jadi animator cukup menyebut satu kata, “Jumbo.”
"Dulu tuh susah banget jelasin kerjaan kita (para animator) untuk meyakinkan orang tua kalau mau masuk jurusan animasi. Tapi sekarang tinggal bilang, 'kerjaku tuh bikin kayak Jumbo', dan orang langsung paham. Bahkan sekarang lebih gampang meyakinkan orang tua untuk masuk jurusan animasi, tinggal tunjukin filmnya, dan mereka langsung mengerti," kata dia.
Ia juga meyakini bahwa perubahan ini akan berpengaruh pada perkembangan industri secara keseluruhan. Seiring meningkatnya apresiasi dan permintaan dari penonton akan film seperti Jumbo, kebutuhan akan tenaga kerja dan studio animasi pun akan ikut naik.
"Misalnya kita ingin lagi punya film animasi seperti Jumbo yang lebih banyak. Kalau demand dari penonton makin besar, pasti supply-nya juga akan mengikuti. Studio, PH, sampai produser pasti akan melihat peluang ini dan mulai mencari SDM animasi. Artinya, SDM seniman animasi akan semakin dibutuhkan. Menurutku, masa depan industri animasi Indonesia sih akan semakin berkembang," jelasnya.
Jangan terlena oleh karya instan AI
Ryan Adriandhy mengingatkan generasi muda, khususnya para pelajar, untuk tidak terlena dengan kemudahan yang ditawarkan kecerdasan buatan. Menurutnya, ketergantungan pada AI justru dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas yang sejatinya hanya bisa dibangun melalui pengalaman manusia.
“Buat teman-teman siswa yang sekarang kecanduan banget sama AI, harus paham bahwa soft skill itu tetap penting. Jangan sampai AI bikin kita jadi malas,” ujar Ryan.
Ia menekankan bahwa proses kreatif tidak bisa digantikan oleh algoritma semata. Proses kreatif seharusnya adalah sesuatu yang diinternalisasi, ada perasaan, pengalaman, dan logika.
“Proses kreatif itu butuh internalisasi, dari pengalaman, perasaan, logika. Itu harus diserap dulu, distrukturkan, baru bisa jadi karya yang utuh. AI nggak bisa menyampaikan rasa dan koneksi yang hanya bisa muncul dari manusia,” tambahnya.
Ia mencontohkan, dalam pembukaan acara yang diisi dengan tari tradisional, tidak mungkin AI bisa menggantikan makna dan ruh di balik pertunjukan tersebut.
“Kayak acara kita tadi dibuka dengan tari tradisional, gak bisa itu AI yang lakuin Buka acara dengan tarian, mau ngapain dia? gak bisa, harus ada ruhnya. AI nggak punya ruh.”
Ryan juga mengajak para pendidik untuk lebih memahami cara kerja AI agar bisa mengedukasi siswa dengan bijak. Ia menyoroti bahwa AI bekerja dengan menyerap data yang sudah ada. Ia juga berpesan kepada para guru untuk memahami AI. Hal itu untuk memastikan bahwa proses belajar dapat tetap terjaga dan tidak menimbulkan plagiarisme hingga disinformasi.
“Misalnya ada yang minta AI bikin novel petualangan, tapi ditulis seolah-olah oleh Dewi Lestari. Itu kan nggak etis. Jadi kalau anaknya ketagihan, gurunya harus paham AI itu ngapain sih, prosesnya dia seperti apa," pungkas Ryan.
/edu/read/2025/05/16/180645371/sutradara-film-jumbo-ai-tidak-akan-gantikan-animator