KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut fenomena kemarau basah tengah melanda beberapa wilayah di Indonesia.
BMKG memperkirakan bahwa fenomena ini akan membuat masyarakat tetap harus menghadapi hujan meskipun telah memasuki musim kemarau.
Proyeksi BMKG, fenomena kemarau basah akan berlangsung hingga akhir musim kemarau pada Agustus 2025.
Setelah itu, Indonesia akan memasuki masa pancaroba antara September hingga November 2025 sebelum memasuki musim hujan yang diperkirakan berlangsung dari Desember 2025 hingga Februari 2026.
Baca juga: 10 Wilayah Jawa Tengah dan DIY yang Masuk Awal Musim Kemarau Akhir Mei 2025, Mana Saja?
Kemarau basah adalah kondisi cuaca tidak biasa di mana hujan tetap terjadi dengan intensitas cukup tinggi meskipun berada dalam periode musim kemarau.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menyebut fenomena ini dipicu oleh berbagai faktor atmosfer dan perubahan iklim yang memengaruhi pola cuaca di Indonesia.
“Kemarau basah adalah fenomena tidak biasa yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perubahan iklim dan pola cuaca yang tidak stabil,” kata Guswanto dikutip dari 优游国际.com, Rabu (14/5/2025).
Baca juga:
BMKG mencatat sejumlah dinamika atmosfer yang berperan dalam memperkuat potensi kemarau basah.
Beberapa faktor yang disebut antara lain sirkulasi siklonik di sekitar wilayah Indonesia, fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO), serta gelombang atmosfer seperti gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator.
Kondisi atmosfer tersebut menyebabkan terbentuknya awan-awan hujan meskipun Indonesia secara umum sedang berada dalam masa kemarau.
BMKG menegaskan bahwa fenomena kemarau basah tidak hanya merupakan kejadian cuaca sesaat, tetapi juga mencerminkan tren perubahan iklim global jangka panjang.
Fenomena kemarau basah di Indonesia terjadi akibat interaksi kompleks antara dinamika atmosfer musiman dan perubahan iklim jangka panjang, kata Guswanto saat dihubungi 优游国际TV, Jumat (16/5/2025).
Secara musiman, kemarau basah dipicu oleh aktifnya gelombang atmosfer tropis seperti MJO, gelombang Kelvin, dan Rossby Ekuator.
Ketiga fenomena ini membawa uap air dalam jumlah besar dan mendorong pembentukan awan hujan, meskipun Indonesia sedang berada dalam periode kemarau.
“MJO, misalnya, adalah gelombang atmosfer tropis yang bergerak secara periodik dan membawa kelembapan tinggi ke wilayah Indonesia, sehingga mengakibatkan hujan yang tidak biasa pada periode kemarau. Kondisi ini mengganggu pola cuaca normal, menyebabkan curah hujan meningkat secara signifikan walaupun musim kemarau sedang berlangsung," jelas Guswanto.
Selain itu, pemanasan global yang menyebabkan kenaikan suhu muka laut di wilayah tropis Indonesia turut berkontribusi pada peningkatan penguapan dan kelembapan atmosfer.
“Kondisi ini menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pembentukan awan dan hujan, bahkan di masa kemarau. Dampak dari pemanasan suhu muka laut ini membuat fenomena seperti MJO menjadi lebih intens dan durasinya lebih lama, sehingga frekuensi kemarau basah meningkat dari waktu ke waktu,” kata dia.
Menurut penjelasan Guswanto, kemarau basah cenderung terjadi di wilayah-wilayah dengan pola hujan monsunal, seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Di daerah-daerah ini, musim kemarau biasanya berlangsung kering dan musim hujan memiliki puncak yang jelas.
Namun pada tahun ini, hujan masih terus turun secara signifikan yang dipengaruhi oleh kelembapan udara yang tinggi serta aktivitas atmosfer global yang tidak stabil.
Guswanto mengingatkan bahwa kemarau basah bisa menimbulkan dampak terhadap berbagai sektor kehidupan, mulai dari pertanian, lingkungan, hingga aktivitas harian masyarakat.
Bagi petani, fenomena kemarau basah akan menimbulkan ketidakpastian cuaca yang dapat mengganggu pola tanam.
Sementara di sektor lingkungan, curah hujan tinggi pada musim kemarau dapat memicu banjir lokal maupun tanah longsor, terutama di wilayah yang rentan dan tidak siap menghadapi anomali cuaca ini.
BMKG mencatat kemarau basah telah beberapa kali terjadi dalam dekade terakhir, yaitu pada tahun 2010, 2013, 2016, 2020, 2023, dan kini kembali terjadi di 2025.
Data tersebut menunjukkan tren bahwa fenomena ini makin sering terjadi dan berlangsung dalam durasi lebih panjang.
"Oleh karena itu, kemarau basah tidak hanya merupakan fenomena musiman biasa, melainkan juga dipengaruhi oleh tren perubahan iklim jangka panjang yang membuat pola cuaca menjadi lebih tidak menentu dan berdampak luas terhadap berbagai sektor, khususnya pertanian dan ketahanan pangan nasional," ujar Guswanto.
Menghadapi kondisi cuaca yang tidak menentu akibat kemarau basah, BMKG menyampaikan beberapa imbauan kepada masyarakat agar tetap waspada dan siap menghadapi potensi cuaca ekstrem:
Sumber:
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.