KOMPAS.com- Pada pasien dengan Covid-19 yang parah, para peneliti menemukan pola aktivasi sel kekebalan tubuh yang tampak serupa pada penyakit lupus.
Penelitian tersebut dilakukan oleh para peneliti Emory Health Sciences saat mengamati bagaimana aktivasi sel kekebalan tubuh saat terinfeksi Covid-19.
Mereka menemukan pola aktivasi yang luar biasa dan menyerupai flare akut penyakit lupus eritematosus sistemik (SLE), seperti dilansir dari Science Daily, Senin (12/10/2020).
Temuan tersebut dilakukan dengan memisahkan beberapa pasien Covid-19 yang membutuhkan terapi penenang kekebalan dari orang yang mungkin tidak.
Dengan tes tersebut, peneliti dapat menjelaskan mengapa beberapa orang yang terinfeksi virus corona, SARS-CoV-2 dapat menghasilkan antibodi yang melimpah untuk melawan virus, namun beberapa pasien justru mengalami hasil yang buruk.
Para peneliti menemukan bahwa peradangan tinggi akibat Covid-19 dapat mengganggu pembentukan pusat germinal. Pusat germinal adalah struktur dalam kelenjar getah bening, tempat yang menghasilkan antibodi.
Tim peneliti Emory mengamati bahwa ternyata pola aktivasi sel B bergerak maju sepanjang jalur yang disebut extrafollicular di luar pusat germinal. Jika diamati, pola tersebut tampak serupa dengan yang peneliti amati pada penyakit autoimun SLE.
Untuk diketahui bahwa sel B mewakili blueprints antibodi yang dapat dimanfaatkan oleh sistem kekebalan untuk melawan infeksi.
Tim peneliti ini sebelum pandemi Covid-19, yang dipimpin oleh Ignacio Sanz, kepala divisi reumatologi di Departemen Kedokteran, direktur Lowance Center for Human Immunology dan Georgia Research Alliance Eminent Scholar, telah meneliti SLE pada penyakit Lupus.
"Tidak sampai pasien ICU ketiga atau keempat yang selnya kami analisis, kami menyadari, bahwa kami melihat pola yang mengingatkan pada flare akut pada SLE," kata Sanz.
Pada pasien dengan SLE, sel B diaktifkan secara tidak normal dan menghindari pemeriksaan dan keseimbangan yang biasanya membatasi mereka.
Hal itu sering menyebabkan produksi autoantibodi yang bereaksi terhadap sel-sel dalam tubuh, yang kemudian menyebabkan gejala seperti kelelahan, nyeri sendi, ruam kulit dan masalah ginjal.
Pada Covid-19 yang para menyebabkan produksi autoantibodi memberikan dampak klinis, saat ini sedang diselidiki para tim peneliti Emory.
Kendati demikian, Sanz mencatat bahwa peneliti lain telah mengamati autoantibodi pada fase akut penyakit. Ini penting untuk membantu memahami apakah respons autoimun jangka panjang mungkin terkait dengan gejala-gejala tersebut yang dialami oleh beberapa orang yang selamat.
Sanz mengatakan pada pasien lupus, respons sel B ekstrafollicular sebagian besar merupakan ciri pada pasien Afrika-Amerika dengan penyakit parah.
Dalam studi baru menyebutkan mayoritas pasien dengan infeksi parah adalah orang Afrika-Amerika.
Namun, kata Sanz, penting untuk memahami bagaimana kondisi yang mendasari dan perbedaan terkait kesehatan dapat mendorong intensitas dan kualitas respons sel B pada penyakit autoimun dan Covid-19.
Berdasarkan temuan dari penelitian para ilmuwan ini, dapat menginformasikan perdebatan tentang pasien Covid-19 mana yang harus diberi perawatan imunomodulator. Misalnya terkait pemberian obat dexamethasone atau anti-IL-6.
Pasien dengan ekspansi sel B yang lebih besar yang menjalani aktivasi ekstrafolikuler juga memiliki tingkat sitokin inflamasi yang lebih tinggi, seperti IL-6.
Beberapa pasien Covid-19 telah diberi obat yang melawan IL-6, tetapi hasilnya beragam dalam uji klinis.
Sanz menyarankan pada pasien dengan penanda respon kekebalan tubuh yang tidak diatur mungkin merupakan kandidat yang tepat untuk pengobatan dengan obat anti inflamasi dengan menargetkan jalur yang sesuai.
Peneliti tentang aktivasi sel kekebalan pada pasien Covid-19 yang serupa pada penyakit Lupus ini telah diterbitkan dalam jurnal online pada 7 Oktober lalu di Nature Immunology.
/sains/read/2020/10/12/160300323/pola-aktivasi-sel-kekebalan-pada-covid-19-parah-mirip-penyakit-lupus