KOMPAS.com - Hari ini 21 tahun lalu, 24 September 1999, demonstrasi yang menuntut pembatalan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) di Jakarta berakhir ricuh.
Peristiwa berdarah itu dikenal dengan Tragedi Semanggi II.
RUU PKB dianggap banyak pihak akan menjadi justifikasi bagi TNI untuk menggelar operasi militer.
Selain itu, dikhawatirkan TNI akan masuk dalam ranah publik sehingga berpotensi melumpuhkan gerakan sipil dengan alasan keadaan bahaya.
Beberapa saat setelah DPR menyetujui RUU PKB, ribuan mahasiswa, buruh, aktivis partai politik, lembaga non-pemerintah dan profesi serentak menuju Senayan.
Tekanan demonstran yang begitu tinggi dan sengit untuk menolak RUU itu mengakibatkan bentrokan berdarah. Puluhan mahasiswa terluka akibat tembakan, injakan, pukulan dan gas air mata.
Korban meninggal
Harian 优游国际, 26 September 1999, memberitakan, aksi brutal tersebut menyebabkan dua orang meninggal dunia, termasuk di antaranya mahasiswa Universitas Indonesia Yap Yun Hap.
Pada pukul 17.00, 40 mahasiswa UI termasuk Yun Hap berangkat dari stasiun kereta api UI Depok dengan tujuan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, untuk melakukan aksi bersama.
Sesuai kronologi yang disampaikan mahasiswa UI, setibanya di Jalan Casablanca pukul 18.30, rombongan bergabung dengan Komrad.
Lima orang dari rombongan tersebut, termasuk Yun Hap diutus untuk mencek kondisi di Jalan Jenderal Sudirman.
Saat itu, keadaan tenang. Akan tetapi, pada pukul 20.00-20.30 tiba-tiba terjadi penyapuan massa dari arah Casablanca menuju Jembatan Semanggi oleh aparat dengan menggunakan tronton ABRI.
Pada awalnya massa melakukan perlawanan terhadap aparat, setelah itu mulai terdengar tembakan dan massa menyelamatkan diri ke arah Bendungan Hilir atau RSJ. Kokom.
Yun Hap tidak diketahui keberadaannya hingga pukul 22.30. Pada pukul 24.00, mahasiswa mengkonfirmasi ke RSJ untuk menanyakan keberadaan Yun Hap.
Pada 25 September 1999 pukul 00.30, rekan-rekan Yun Hap akhirnya menemukan Yun Hap terbaring di kamar jenazah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dengan lubang tembakan di punggung kiri atas.
Dari hasil pemeriksaan forensik, disebutkan bahwa korban meninggal akibat penembakan dengan menggunakan peluru tajam.
Temuan TPFI
Untuk mengungkap kasus itu, dibentuk Tim Pencara Fakta Independen (TPFI) yang terdiri dari sejumlah pakar dari berbagai bidang keilmuan.
Harian 优游国际, 28 September 1999 memberitakan, TPFI menemukan ada dua kelompok prajurit yang melakukan penembakan brutal kepada massa di sekitar Jalan Jenderal Sudirman.
Pernyataan pihak aparat keamanan tentang adanya pelaku penembakan dari kendaraan lain di luar iring-iringan mobil prajurit, merupakan alasan yang tidak masuk akal.
Terlebih tidak ditemukan keterangan yang mendukung pernyataan itu dari saksi-saksi langsung di lapangan.
Sekretaris TPFI Dr Ir Dadan Umar Daihani menyebut ada dua kelompok tembak, berdasarkan hasil rekonstruksi.
Sekitar pukul 20.30 terdengar tembakan dari jauh dan kemudian terlihat iring-iringan mobil yang mengangkut tentara. Mereka disebut TPFI sebagai kelompok tembak satu.
Sekitar pukul 20.35 suara tembakan makin gencar dan makin dekat.
Mahasiswa dan penduduk mulai berlarian, dan beberapa saat kemudian terlihat iring-iringan tujuh atau delapan truk mengangkut prajurit yang tergabung dalam kelompok tembak pertama di bawah jembatan layang Karet-Sudirman.
Dadan menambahkan, sekitar pukul 20.40, tembakan membabi buta sudah makin dekat. Di saat-saat inilah Yun Hap tertembak, ketika tengah berjalan cepat sambil menunduk, sekitar satu meter menuju jalan masuk ke Rumah Sakit Jakarta.
"Ternyata jam 20.55 ada kelompok tembak (klotem) kedua, dan ada korban tembak berikutnya, Jumadi dan satu pemuda," kata Dadan.
Sementara itu, anggota TPFI Dr Tamrin Amal Tomagola mengatakan, penembekan aparat keamanan pada Tragedi Semanggi II bisa disebut by design.
Sebab, sejak lengsernya Soeharto sampai saat itu ada bingkai besar, yaitu kegamangan militer tentang posisi mereka di era reformasi.
/tren/read/2020/09/24/125500865/hari-ini-dalam-sejarah--tragedi-semanggi-ii