Pemerintahan represif terhadap para militan berlangsung sampai invasi pimpinan AS pada 2001. Sejak itu, Afganistan telah menjadi negara berlumuran darah oleh pemberontakan.
"Kita harus memahami bahwa telah ada penderitaan di semua sisi, semua warga Afghanistan menderita pada waktu yang berbeda," kata Hamid Karzai, presiden pertama yang dipilih secara demokratis setelah keruntuhan Taliban, dalam sebuah wawancara di Kabul.
“Semua orang telah melakukan bagian (mereka), sayangnya, membawa penderitaan bagi rakyat kami dan negara kami,” kata Karzai, yang meninggalkan jabatannya pada 2014 setelah menjalani dua masa jabatan.
"Tidak ada yang bisa (menunjuk) jari ke arah seseorang untuk mengatakan Anda telah melakukannya," ucapnya.
Namun, individu Afghanistan bisa. Mereka tahu siapa yang menyebabkan tragedi bagi keluarga mereka.
Baca juga: Bom Truk Meledak di Afghanistan di Tengah Pembicaraan Damai, 15 Orang Tewas
Hayat, salah satu dari mereka yang mengunjungi Pusat Memori dan Dialog Kabul, mengatakan roket yang membunuh adik laki-lakinya dan melukai saudara perempuannya 25 tahun lalu ditembakkan oleh orang-orang panglima perang Abdul Rasul Sayyaf.
Sayyaf terkenal karena hubungannya dengan al-Qaeda pada 1990-an dan menjadi inspirasi bagi kelompok teroris Filipina, Abu Sayyaf.
Dia juga seorang politikus yang kuat di Afghanistan pasca-Taliban, dan sering terlihat pada pertemuan dengan penerus Karzai, Presiden Ashraf Ghani.
Panglima perang mujahidin seperti Sayyaf tetap kuat sejak invasi pimpinan AS pada 2001 dan memimpin faksi bersenjata lengkap.
Mereka termasuk orang-orang seperti Gulbuddin Hekmatyar, yang berada dalam daftar teroris AS sampai dia menandatangani pakta perdamaian 2017 dengan pemerintah Ghani.
Selain Hekmatyar, ada juga panglima perang Uzbekistan, Marsekal Rashid Dostum, yang telah terlibat dalam litani kejahatan hak asasi manusia.
Segera setelah kekalahan Taliban pada 2001, serangan balas dendam berlipat ganda, dan etnis Pashtun, yang menjadi tulang punggung Taliban, pada awalnya dilecehkan dan dianiaya ketika mereka kembali ke desa mereka.
Akibatnya, banyak yang akhirnya kembali ke pegunungan atau melarikan diri ke tempat berlindung yang aman di negara tetangga Pakistan. Itu memungkinkan Taliban untuk berkumpul kembali.
Baca juga: Tawarkan Hubungan Damai kepada Pakistan, Afghanistan: Sudahi Retorika Basi dan Teori Konspirasi
Saat ini, kelompok pemberontak berada pada titik terkuatnya sejak 2001, menguontrol atau menguasai hampir separuh negara.
Bahkan jika kesepakatan intra-Afghanistan tercapai, lalu pasukan AS dan NATO pergi, banyak warga Afghanistan khawatir bahwa banyak faksi di negara itu, termasuk Taliban, akan memperebutkan kekuasaan.