KOMPAS.com - Pidana mati atau hukuman mati adalah salah satu jenis pidana pokok dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hukuman mati merupakan pidana pokok terberat, disusul pidana penjara, kurungan, denda, dan pidana tutupan.
Pengertian hukuman mati
Roeslan Salah dalam Stelsel Pidana Indonesia (1987) menjelaskan, hukuman mati adalah jenis pidana terberat menurut hukum positif Indonesia.
Bagi kebanyakan negara, hukuman mati tak lagi dilaksanakan dan hanya sebagai kulturhistoris.
Pasalnya, kebanyakan negara-negara sudah tidak mencantumkan pidana mati di dalam kitab undang-undang hukum pidananya.
Hukuman mati sendiri menjadi pidana paling banyak diperdebatkan. Di satu sisi, banyak yang pro terhadap pelaksanaan hukuman mati. Akan tetapi, ada pula yang menentang pelaksanaan salah satu jenis pidana pokok ini.
Dikutip dari Jurnal Lex Crimen (2017), alasan dari mereka yang pro pidana mati adalah adanya peningkatan kualitas dan kuantitas kejahatan dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu, para penjahat perlu diberi terapi kejutan berupa pidana mati, terutama bagi penjahat tertentu yang tak lagi dapat diharapkan untuk berubah.
Sementara kelompok kontra, memberikan alasan bahwa pidana mati bersifat final, sehingga sekali dijatuhkan tidak dapat lagi diperbaiki meski terjadi kekeliruan terhadap terpidana.
Selain itu, pidana mati juga akan menutup kemungkinan bagi terpidana untuk memperbaiki kesalahannya di masa yang akan datang.
Dasar hukum pidana mati
Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana.
Kemudian, menjatuhkan papan tempat terpidana tersebut berdiri.
Kendati demikian, ketentuan Pasal 11 KUHP diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer.
Pasal 1 UU tersebut mengatur, pelaksanaan hukuman mati yang dijatuhkan Peradilan Umum maupun Peradilan Militer dilakukan dengan ditembak sampai mati.
Selanjutnya, ketentuan UU Nomor 02/Pnps/1964 ini disempurnakan dengan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Adapun dilansir dari Jurnal Syiar Hukum (2007), berikut beberapa hukuman mati di Indonesia yang diatur dalam KUHP:
Hukuman mati di Indonesia juga diatur di luar KUHP. Misalnya, pada UU Narkotika, UU Terorisme, dan UU Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan UU Nomor 02/Pnps/1964, tiga kali 24 jam sebelum eksekusi, jaksa memberitahukan terpidana tentang rencana hukuman mati.
Apabila terpidana hamil, maka hukuman mati dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.
Sebelum eksekusi, Kapolda membentuk regu tembak yang terdiri dari 1 Bintara, 12 Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.
Semua regu tembak berasal dari Korps Brigade Mobil atau Brimob.
Selanjutnya, berikut tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, seperti diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010:
Setelah penembakan, Komandan Pelaksana, jaksa eksekutor, dan dokter memeriksa kondisi terpidana.
Apabila dokter mengatakan terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, maka jaksa memerintahkan Komandan Pelaksana untuk melakukan penembakan pengakhir.
Pelaksanaan hukuman mati dinyatakan selesai saat dokter tidak lagi menemukan tanda-tanda kehidupan pada terpidana.
Kemudian, Komandan Pelaksana pun melaporkan hasil penembakan kepada jaksa eksekutor dengan mengucapkan, "Pelaksanaan pidana mati selesai".
Hukuman mati menurut putusan MK
Menimbulkan pro dan kontra, hukuman mati di Indonesia menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2-3/PUU-V/2007 tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945.
Putusan MK tertanggal 27 Oktober 2007 tersebut menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika.
Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi harus digunakan untuk menghargai dan menghormati hak asasi orang lain.
Dengan demikian, hak asasi manusia (HAM) harus dibatasi dengan instrumen undang-undang. Seperti, hak untuk hidup tidak boleh dikurangi kecuali telah diputuskan oleh pengadilan.
Selain itu, Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 juga mengatakan, cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak seperti diatur dalam UU Nomor 02/Pnps/1964 tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh karena itu, pelaksanaan pidana mati dengan ditembak sampai mati tidak melanggar HAM, khusus hak untuk tidak disiksa seperti dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Rasa sakit yang dialami terpidana mati karena ditembak merupakan konsekuensi logis yang melekat dalam proses kematian sebagai akibat pelaksanaan hukuman mati.
Sehingga, tidak termasuk kategori penyiksaan terhadap diri terpidana mati.
/tren/read/2022/09/20/070500765/mengenal-hukuman-mati-di-indonesia-dasar-hukum-dan-detail-pelaksanaannya