KOMPAS.com - Kasus Harun Masiku kembali mencuat setelah Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Senin (10/6/2024).
Hasto diperiksa lantaran sudah empat tahun Harun berstatus buron usai ditetapkan sebagai tersangka kasus suap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan pada 2020 lalu.
KPK sudah menetapkan empat orang, termasuk Harun Masiku sebagai tersangka, dan tiga di antaranya telah dijatuhi hukuman.
Namun, Harun lolos dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Jejaknya juga sama sekali tak tercium hingga sekarang.
Lantas, di mana Harun Masiku dan seperti apa kasus yang menjeratnya? Berikut kronologi kasus Harun Masiku.
Baca juga: Penjelasan KPK Disebut Akan Tangkap Harun Masiku dalam Waktu Seminggu
Dilansir dari , Selasa (11/6/2024), Harun Masiku adalah eks kader PDI-P yang maju sebagai caleg dari daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Di dapil tersebut, Harun hanya memperoleh 5.878 suara dan menempati posisi kelima.
Perolehan suara tersebut jelas tidak dapat mengantarkan Harun melenggang ke Senayan.
Pada saat itu, caleg dari PDI-P dari dapil Sumsel I yang dinyatakan terpilih adalah Nazarudin Kiemas, tetapi ia meninggal 17 hari sebelum Pemilu.
Karena alasan itulah PDI-P perlu menyiapkan pengganti Nazarudin yang wafat sebagai wakil rakyat pengganti.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pengganti Nazarudin adalah caleg PDI-P yang memperoleh suara terbanyak kedua dari partai dan dapil yang sama dengan caleg yang meninggal.
Mengacu pada aturan tersebut, pengganti Nazarudin adalah Riezky Aprilia.
Sayangnya, PDI-P tidak menginginkan Riezky dan mengajukan nama Harun Masiku sebagai pengganti Nazarudin, walaupun tidak sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2017.
PDI-P melalui Don selaku kuasa hukum kemudian menggugat Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3/2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA).
MA kemudian mengabulkan gugatan tersebut, sehingga pemilihan partai tidak lagi berdasarkan suara kedua terbanyak, namun ditentukan partai.